KUMPULAN TUGAS KULIAH DAN MAKALAH _ADMINISTRASI _ADMINISTRASI NEGARA _ADMINISTRASI PUBLIK _KEBIJAKAN _MANAGEMEN _ORGANISASI _KEAGAMAAN _DAN LAIN LAIN

Saturday 19 November 2016

Pelanggaran HAM dan Pengadilan HAM di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu  keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Hak asasi manusia   melingkupi antara lain hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negara. Hak asasi tidak sebatas pada kebebasan berpendapat ataupun berorganisasi, tetapi juga menyangkut pemenuhan hak atas keyakinan, hak atas pangan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, rasa aman, penghidupan yang layak, dan lain-lain. Kesemuanya tersebut tidak hanya merupakan tugas Negara/pemerintah tetapi juga seluruh warga negara untuk memastikan bahwa hak tersebut dapat dipenuhi secara konsisten dan berkesinambungan.
Pelanggaran HAM merupakan perbuatan orang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja atau tidak atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi / menghalangi /  membatasi / mencabut HAM orang / kelompok orang yang dijamin oleh UU dan tidak mendapat / dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar.
Disamping langkah-langka pembenahan secara hukum dan kelembagaan tersebut, di lakukan pula sejumlah kegiatan lain yang secara keseluruhan berupaya untuk meningkatkan kepekaan di kalangan masyarakat pada umumnya dan penyelenggara Negara pada khususnya. Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan untuk mewujudkan penyebarluasan pemahaman dan pengalaman konsep HAM terwujud secara nyata dalam rencana aksi nasional HAM dalam kehidupan bernegara.[1]
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana klasifikasi pelanggaran HAM di Indonesia menurut UU NO 26 THN 2000?
2.      Apa yang di maksud dengan pengadilan HAM beserta kewenangannya?
3.      Apa fungsi pengadilan ad-hoc ?
4.      Bagaimana perlindungan para korban dan saksi ?
5.      Bagaimana ketentuan pidana terhadap pelanggaran HAM di Indonesia?
6.      Bagaimana study kasus terhadap pelanggaran HAM tahun 1965 dalam pengadilan people tribunal di Deenhag Belanda 10-13 November 2015?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui klasifikasi pelanggaran HAM di Indonesia menurut UU NO 26 THN 2000
2.      Untuk mengetahui maksud pengadilan HAM beserta kewenangannya
3.      Untuk mengetahui apa fungsi dari pengadilan ad hoc
4.      Untuk mengetahui perlidungan para saksi dan korban
5.      Untuk mengetahui ketentuan pidana terhadap pelanggaran HAM di Indonesia
6.      Untuk mengetahui pelanggaran HAM tahun 1965 dalam pengadilan people tribunal di Deenhag Belanda 10-13 November 2015








BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Klasifaksi Pelanggaran HAM di Indonesia
Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 (6), Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orangyang dijamin oleh Undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.[2]
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 7, Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
a)      kejahatan genosida;
b)      kejahatan terhadap kemanusiaan

a.   Kejahatan Genosida
      Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian  elompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a)      membunuh anggota kelompok;
b)      mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c)      menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d)     memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e)      memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Rumusan pengertian genosida dalam Undang-undang Pengadilan HAM, pada dasarnya merujuk pada rumusan pengertian genosida dalam Statuta Roma 1998 Pasal 6 yang berbunyi:
Genocide’ means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
a.      Killing members of the group;
b.      Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
c.       Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
d.      Imposing measures intended to prevent births within the group;
e.       Forcibly transferring children of the group to another group.
Jika diperhatikan terdapa perbedaan definisi genosida dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 dengan definisi genosida dalam Statuta Roma. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 menyebutkan setiap perbuatan (any action), sementara Statuta Roma menyebutkan setiap dari perbuatan (any of the following acts). Undang-undang No. 26 Tahun 2000 juga menambahkan kata menghancurkan (exterminate) dan menghilangkan kata as such dalam Statuta Roma, dan menggantinya dengan frase by way of (dengan cara).[3]

b.      Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a)      pembunuhan;
b)      pemusnahan;
c)      perbudakan;
d)     pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e)      perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f)       penyiksaan;
g)      perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h)      penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i)        penghilangan orang secara paksa; atau
j)         kejahatan apartheid.

Rumusan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan diatas pada dasarnya merujuk rumusan yang sama dalam pasal 7 ayat 1 Statuta Roma yang berbunyi:
"crime against humanity" means any of the following acts when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack:
a)      Murder;
b)       Extermination;
c)      Enslavement;
d)      Deportation or forcible transfer of population;
e)      Imprisonment or other severe deprivation of physical liberty in violation of fundamental rules of international law;
f)        Torture;
g)      Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced pregnancy, enforced sterilization, or any other form of sexual violence of comparable gravity;
h)      Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that are universally recognized as impermissible under international law, in connection with any act referred to in this paragraph or any crime within the jurisdiction of the Court;
i)        Enforced disappearance of persons;
j)        The crime of apartheid;
k)      Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Kejahatan kemanusiaan untuk dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat, harus memnuhi unsure-unsur sebagai berikut.
1.      Adanya serangan yang meluas atau sistematis
2.      Diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
3.      Serangan itu sebagai kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi
Apabila kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan tidak memenuhi ketiga unsure tersebut, maka perbuatan itu digolongkan pada tindak pidana biasa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), diadili oleh Pengadilan Pidana dan bukan Pengadilan Hak Asasi Manusia.[4]

2.2  Pengadilan HAM di Indonesia
        Pada hakikatnya, hak asasi manusia tersebut adalah merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia semenjak dia lahir dan anugrah dari tuhan yang maha esa. Dengan demikian, hak asasi manusia merupakan hak yang bersumber dari negara dan hukum. Oleh karena itu, sebagai mana telah di kemukakan sebelum nya yang di perlukan dari negara dan hukum hanyalah pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut.
Dalam masyarakat internasional hak asasi manusia tersebut telah di akui secara resmi, dengan di deklarasikan nya suatu piagam oleh persekutuan bangsa-bangsa (PBB) yang dikenal dengan “universal declaration of human right” (pernyataan sejagat tentang hak asasi manusia), pada tanggal 10 desember 1948. Lebih lanjut, hak-hak asasi manusia tersebut dijabarkan dalam berbagai instrumen perserikatan bangsa-bangsa(PBB) dalam bentuk konvensi internasional tentang hak asasi manusia. Konvensi ini mengikat setiap negara yang ikut menandatanganinya dan setelah di ratipikasi oleh masing-masing negara, maka konvensi tersebut akan mengikat secara langsung setiaap warga negara dari negara yang bersangkutan. 
        Majelis permusyawaratan rakyat(MPR) RI, sebagai mana telah di kemukakan sebelumnya melalui ketetapan MPR Nomor XVII /MPR/1998 tentang hak asasi manusia, menugaskan semua lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakan,dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh warga masyarakat dan segera meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang hak asasi manusia, sepanjang  tidak bertentangan dengan manusia dan Undang-Undang Dasar 1945.(Tap MPR No.XVII/MPR /1998).[5]
Pembentukan komisi nasional hak asasi manusia (Komnas HAM) telah dilakukan sebelumditetapkannya PMR No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, melalui Kepres No 5 tahun 1993 tanggal 7 juli 1993, sedangkan pengadilam hak asasi manusia dan komisi kebenaran dan rekonsiliasi pembentukannya di dasarkan pada undang-undang No 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia.
Secara jujur kita harus mengakui bahwa di negara kita memang cukup banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia tidak saja di masa orde baru, malah di era reformasipun banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia walaupun kita mengetahui tidak satu pasal pun dalam undang-undang dasar 1945 yang menyatakan secara tegas baahwa republik indonesia adalahj negara hukum, tetapi di dalam penjelasan umum undang-undang dasar 1945 ditegaskan bahwa negara indonesia adalah merupakan negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan ( machtstaat)
Seperti di kemukakan oleh Frederick Julius Stahl, suatu negara hukum Formal harus memenuhi 4 (empat) unsur pennting, yaitu sebagai berikut.
1.      Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia.
2.      Adanya pemisahan/ pembagian kekuasaan.
3.      Setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.      Adanya peradilan tata usaha negara. (10-116)
Pembentukan undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia, di dasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.
1.      Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan “ekstra ordinary crimes “ dan berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional, dan merupakn tindak pidana yang di atur dalam kitab undang-undang hukum pidana, serta menimbulkan kerugian baik material maupun im material yang mengakibatkan perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera di pulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum dalam mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat indonesia.[6]
2.      Kekhususan dalam penanganan hak asasi manusia yang berat adalah sebagai berikut.
a)      Diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc.
b)      Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya di lakukan komisi nasional hak asasi manusia, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagai mana di atur dalam kitab undang-undang hukum acara pidana.
c)      Di perlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan
d)     Di perlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
e)      Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa “.(penjelasan UU. No. 26 tahun 2000

A.    Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia
Dengan diadakan nya perubahan (amandemen ) kedua atas undang-undang dasar 1945, terutama dengan menambah Bab X A tentang hak asasi manusia yang terdiri atas 10 (sepuluh) pasal, yaitu pasal 28 a sampai 28 j.
Berdasarkan penugasan dari majelis permusyawarahan rakyat dengan perwakilan rakyat republik indonesia sebagai badan legislatif menetapkan undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999. Melalui pasal 104 memerintahkan pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia, dengan rumusan sebagai berikut.
Ayat (1) : “untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan peradilan umum.”
Ayat (2) : “pengadilan seebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun.
Ayat (3) : “sebelum terbentuk pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka kasus-ksus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.”
Pasal 3          undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak asasi manusia, menyatakan sebagai berikut.
Ayat (1) :   “pengadilan Hak Asasi Manusia berkedudukan di daerah kabupaten, atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Ayat (2) : “untuk daerah khusus ibukota Jakarta, pengadilan hak asasi manusia berkedudukan di setiap wilayah pengadilan Negeri yang bersangkutan.”

B.     Tempat Kedudukan Dan Susunan Pengadilan Hak Asasi Manusia
a.    Tempat Kedudukan
Menurut menentukan pasal 10 Undang_undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diubah dengan dengan undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, di indonesia di kenal adanya 4 sistem peradilan, yaitu sebagai berikut.
a.       Peradilan umum
b.      Peradilan agama
c.       Peradilan militer
d.      Peradilan tata usaha negara
Menurut ketentuan pasal 45 undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak asasi manusia, buat prtama kali pada saat undang-undang ini mulai berlaku, pengadilan hak asasi manusia baru akan di bentuk di jakarta pusat, surabaya, medan, dan makasir yang daerah khususnya meliputi sebagai berikut.
a.       Pengadilan hak asasi manusia jakarta pusat, meliputi daerah khusus ibukota jakarta, propinsi jawa barat, propinsi banten, propinsi sumatera selatan, propinsi lampung, propinsi bengkulu, propinsi kalimantan barat, dan propinsi kalimantan tengah.
b.      Pengadilan hak asasi manusia Surabaya meliputi propinsi jawa timur, propinsi jawa tengahdaerah istimewa Yogyakarta, propinsi bali, propinsi kalimantan selatan, propinsi kalimantan timur, propinsi nusa tenggara barat, dan propinsi nusa tenggara timur.
c.       Pengadilan hak asasi manusia makasar, meliputi propinsi sulawesi selatan, propinsi sulawesi utara, propinsisulawesi tenggara, propinsi sulawesi tengah, propinsi sulawesi utara, propinsi maluku, propinsi maluku utara, dan propinsi irian jaya.
d.      Pengadilan hak asasi manusia medan, melalui propinsi sumatera utara, daerah istimewa aceh, propinsi riau, propinsi jambi, dan propinsi sumatera barat.
1.      Susunan Majelis Hakim
Susunan majelis Hakim pengadilan Hak Asasi manusia terdiri atas 5 orang hakim yang berasal dari hakim pada pengadi;lan hak asasi manusia yang bersangkutan 2 orang dan 3 orang hakim ad hoc. Majelis hakim ini diketuai oleh salah seorang hakim dari pengadilan yang bersangkutan. Untuk setiap pengadilan hak asasi manusia diangkat 12 orang hakim ad hoc. Pengangkatannya dilakukan oleh presiden selaku kepala negara atas usul ketua mahkamah agung. Hakim ad hoc diangkat untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Menurut penjelasan pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 tahun 2000, hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karir yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegrasi tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
Susunan majelis hakim di pengadilan tinggi  hak asasi manusia sama  dengan pengadilan hak asasi manusia, yaitu dua orang hakim dari pengadilan tinggi yang bersangkutan dan tiga orang hakim ad hoc. Di setiap pengadillan tinggi hak asasi manusia sekurang-kurangnya di angkat 12 orang hakim ad hoc. Untuk hakim ad hoc pada pengadilan tinggi hak asasi manusia juga berlaku syarat-syarat sebagaimana syarat-syarat yang berlaku bagi hakim ad hoc di pengadilan hak asasi manusia dan juga diwajibkan mengucapkan sumpah sebagaimana yang dilakukan oleh hakim ad hoc di pengadilan hak asasi manusia.
Menurut ketentuan pasal 33 ayat (6) undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc pada mahkamah agung adalah sebagai berikut.
a.       Warga negara republik indonesia
b.      Bertakwa kepada tuhan yang maha esa
c.       Berumur sekurang-kurangnya 50 tahun
d.      Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum
e.       Sehat jasmani dan rohani
f.       Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
g.      Setia kepada pancasila dan undang-undang dasar 1945
h.      Memiliki pengetahuan dan dan kepedulian dibidang hak asasi manusia.


C.          Kompetensi Pengadilan Hak Asasi Manusia
           Pengetauan kompetensi pengadilan hak asasi manusia adalah sangat penting dan perlu dirumuskan dengan cermat, guna mencegah terjadinya tumpang tindih kemenangan antara pengadilan hak asasi manusia dengan pengadilan pidana.
           Menurut ketentuan pasal 4 undang-undang no 26 tahun 2000. Pengadilan hak asasi manusia bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dari ketentuan pasal ini jelas bagi kita bahawa tidak semua pelanggaran hak asasi manusia dapat diadili oleh pengadilan hak asasi manusia, seperti contoh kasus pembunuhan, tetapi terbatas pada “ pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Yang di maksud pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut ketetntua undang-undang  nomor 26 tahun 200, adalah sebagaimana dijelaskan dalam pasal 7 yang berbunyi sebagai berikut.
 “Pengadilan hak asasi manusia menurut ketentuan undang-undang Nomor 26 tahun 2000, disamping berwenang  memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia  yang berat yang terjadi di teritorial wilayah negara kesatuan republik indonesia, juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh warga negara indonesia di luar teritolial wilayah kesatuan republik indonesia. Tujuan dimuatnya ketentuan ini adalah untuk melindungi warga negara indonesia yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di luar negeri, karena dengan ketentua ini mereka dapat diadili dan di hukum berdasarkan hukum yang berlaku di indonesia. “[7]

2.3  Pengadilan AD HOC
        Dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 tidak ada ketentuan yang dimaksud dengan pengadilan HAM ad hoc, tidak seperti halnya apa yang di maksud dengan pengadilan HAM yang oleh pasal 1 angaka 3 ditentukan bahwa yang di maksud dengan pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat.
        Tetapi jika ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 angka 3 tersebut, kemudian di kaitkan dengan pasal 43 ayat 1 yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum di undangkannya undang-undang nomor 26 tahun 2000 diperiksa dan di putus oleh pengadilan HAM ad hoc, maka dapat diketahui bahwa apa yang di maksud dengan pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan khusus yang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum undang-undang nomor 26 tahun 2000 pada tanggal 23 november 2000.
        Pasal 23 ayat 2 menentukan bahwa pengadilan HAM ad hoc di bentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Sedangkan penjelasan 43 ayat 2 meneyebutkan bahwa dalam hal DPR mengusulkan di bentuknya pengadilan HAM ad hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang di batasi pada locus dan tempus delicti tentu yang terjadi sebelum di undangkannya undang-undang nomor 26 tahun 2000.
            Pembentukan pengadilan HAM ad hoc dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PPU-V/2007 yang menyebutkan, sebagai berikut :
1.      Pengadilan HAM ad hoc di bentuk hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu, yaitu bukan terhadap semua peristiwa, melainkan hanya terhadap peristiwa-peristiwa yang locus dan tempus delici nya dibatasi sebagaiamana di sebutkan dalam penjelasan pasal 43 ayat 2 UU peradilan HAM.
2.      Peristiwa tertentu yang duga mengandung pelanggaran hak asasi amanusia yang berat harus di nilai terlebih dahulu oleh dewan perwakilan rakyat sebelum dapat dinyatakan adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau tidak.
3.      Presiden baru dapat menerbitkan keputusan presiden guna membentuk pengadilan HAM ad hoc hanya apabila telah ada usul dari dewan perwakilan rakyat yang berpendapat bahwa dalam suatu peristiwa tertentu diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dalam putusan mahkamah konstitusi nomor 18/PUU-V/2007 dinyatakan bahwa kata “dugaan” dalam penjelasan pasal 43 ayat 2 yang di muat dalam tambahan lembaran negara nomor 4026 yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal dewan perwakilan rakyat republik indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi yang berat yang di batasi pada locus dan tempus delicti tentu yang terjadi sebelum di undangkannay undang-undang ini” bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu di nyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 43 ayat 1 dan ayat 2 beserta penjelasannya dapat di ketahui lingkup kewenangan dari pengadilan HAM ad hoc, yaitu :
1.      Lingkup Kewenangan Absolut
Lingkup kewenangan absolut atau kompetensi absolut dari pengadilan HAM ad hoc, sebagai berikut :
a.       Memeriksa dan memutuskan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum di undangkannya undang-undang nomor 26 tahun 2000 pada tanggal 26 november 2000.
b.      Pelanggaran HAM yang berat tersebut terbatas hanya yang terjadi pada tempat atau tempat-tempat dan waktu yang di tentukan dalam keputusan presiden tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
2.      Lingkup Kewenangan Relatif
Lingkup kewenangan relatif atau kompetensi relatif dari pengadilan HAM ad hoc adalah seperti yang di tentukan dalam keputusan presiden tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc tersebut.
            Sebagai contoh mengenai lingkup kewenangan absolut dan relatif dari pengadilan HAM ad hoc adalah dengan keputusan presiden nomor 96 tahun 2001 telah di bentuk pengadilan HAM ad hoc pada pengadilan nengri jakarta pusat.
            Di dalam keputusan presiden tersebut, ditentukan bahwa pengadilan HAM ad hoc pada pengadilan negeri jakarta pusat mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di timor timur dalam wilayah hukum liquica, Dilli dan soae pada bulan april 1999 dan bulan september 1999 dan terjadi di tanjung priok pada bulan september 1984.

2.4           PERLINDUNGAN KORBAN
Pasal 34 menentukan : (1) setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat atas perlindungan fisik dan menatal dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak mana pun; (2) perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakn oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara Cuma-Cuma; (3) ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
            Pada saat sekarang, peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (3) adalah peraturan pemerintah nomor 2, tahun 2002 tantang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
            Dalam penjelasan umum peraturan pemerintahan nomor 2, tahun 2002 disebutkan bahwa dengan jaminan pemberian perlindungan, diharapkan, baik korban maupun saksi dapat memberikan keterangn yang benar, sehingga proses peradilan terhadap pelanggaran HAM yang berat dapat dilaksanakan dengan baik.
1.    Pengertian
Dalam pasal 1 peraturan pemerintahan nomor 2 tahun 2002 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan :
a.    Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak mana pun yang diberikan pada tahap penyalidikan, penyidikan, penuntutan atas pemeriksaan di sidang pengadilan.
1)        Perlindungan terhadap setiap koraban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat, sifatnya adalah wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan demikian pula ditentukan oleh pasal 3 peraturan pemerintahan nomor 2 tahun 2002 karena oleh pasal 2 ayat (1) peraturan pemerintahan nomor 2 tahun 2002 telah ditentukan bahwa perlindungan oleh aparat penegk hukum dan aparat keamanan merupakan hak dari setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat.
2)        Tujuan dari perlindungan adalah untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental kepada korban dan saksi dari ancaman gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
3)        Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan diberikan kepada setiap korban dan saksi. demikian pula ditentukan oleh pasal 2 ayat (2) peraturan pemerintahan nomor 2 tahun 2002 sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan disidang pengadilan dalam perkara pelanggaran HAM yang berat.
b.   Korban adalah orang perseorang atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat memerlukan perlindungan fisik dan mental dari
c.    Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dana / pemeriksaan disidang pengadilan tentang perkara pelanggaran HAM yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
Oleh karena guna kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan disidang pengadilan tentang perkara pelanggaran HAM yang berat, terdapat kemungkinan perlunya memberikan perlindungan fisik dan mental dari ancaman gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun terhadap orang yang dapat memberikan keterangan ahli, m       aka menurut hemat kami apakah tidak sebaliknya pengertian “saksi” sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 ditafsirkan meliputi atau termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan ahli.
d.   Ancaman, gangguan, teror dan kekerasan adalah segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan menghalang-halangi atau mencegah seseorang, sehingga baik langsung atau tidak langsungmengakibatkan orang tersebut tidak dapat memberikan keterangan yang benar untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan disidang pengadilan[8].

2.     Bentuk-bentuk perlindungan
Pasal 2 peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 menentukan : (1) setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan: (2) perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan sebagaimana dimaksud (1) diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan disidang pengadilan.
Penjelasan pasal 2 ayat 2 (2) peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pemeriksaan disidang pengadilan” adalah proses pemeriksaan pada sidang dipengadilan negeri, pengadilan tinggi, atau mahkamah agung.
Bentuk-bentuk mengenai perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002, oleh pasal 4 peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 ditentukan meliputi :
a.       Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental.
b.        Perahasiaan identitas korban atau saksi
c.         Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan disidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Yang dimaksud dengan “tanpa bertatap muka dengan tersangka” dalam pasal 4 huruf c peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 ini adalah tanpa bertatap muka secara langsung dengan terdakwah, tetapi dengan melalui media elektronik, yaitu dengan cara apa yang di sebut Tele conference seperti tang pernah dilakukan pada waktu pemeriksaan perkara AKBAR TANJUNG dipengadilan Negeri Jakarta Pusat, ketika mendengarkan keterangan saksi B.J. HABIBIE dari kedutaan besar RI di Bonn, Jerman.
3.     Tata Cara Pemberian Perlindungan
Dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 5 ayat (1) peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002, dapat diketahui bahwa perlindungan terhadap korban dan saksi dilakukan berdasarkan :
a.       Inisiatif aparat penegak hukun atau penegak keamanan.
b.      Permohonan yang di sampaikan oleh korban atau saksi.
Oleh karena pasal 5 ayat (2) peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 ditentukan bahwa jika permohonan perlindungan disampaikan oleh korban atau saksi, maka permohonan tersebut disampaikan kepada :
1)      komisi nasional Hak Asasi Manusia pada tahap penyelidikan :
2)      kejaksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan : dan
3)      pengadilan pada tahap pemeriksaan.
Penjelasan pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa permohonan prlindungan pada tahap tertentu, sekaligus merupakan permohonan untuk tahap berikutnya.
       Permohonan perlindungan dari korban atau saksi, dapat pula disampaikan langsung kepada aparat keamanan seperti yang ditentukan dalam pasal 5 ayat (4) peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 dan sudah tentu permohonan perlindungan tersebut, dapat disampaikan, baik pada tahap penyelidikan atau tahap penyidikan maupun pada tahap pemetiksaan di sidang pengadilan.
       Pasal 6 peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 menentukan bahwa setelah menerima permohonan perlindungan, aparat penegak hukum atau aparat keamanan melakukan :
a.       klarifikasi atau kebenaran permohonan.
b.      Identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa setelah menerima permohonan perlindungan dari korban atau saksi, komisi nasional Hak Asasi Manusia, Kejaksaan atau Pengadilan lalu melakukan klarifikasi dan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002.
Jika hasil dari klarifikasi dan identifikasi tersebut menjukan perlunya perlindungan yang berupa perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf a peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002, maka oleh oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kejaksaan atau pengadilan, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 5 ayat (3), permohonan tersebut disampaikan kepada aparat keamanan untuk ditindak lanjuti.
Demikan pula jika aparat keaman menerima langsung permohonan perlindungan dari korban atau saksi, maka aparat keamanan melakukan klarifikasi dan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 peraturan pemerintah no 2 tahun 2002.
Sampai kapan perlindungan terhadap korban atau saksi diberikan, pasal 7 ayat (1) peraturan pemerintahan nomor 2 tahun 2002 menentukan bahawa perlindungan terhadap korban atau saksi dihentikan apabila :
a.       Atas permohonan yang bersangkutan.
b.      Korban atau saksi meninggal dunia.
c.       Berdasarkan pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat keamanan, perlindungan tidak diperlukan lagi.
Jika pemberian perlindungan terhadap korban atau saksi dihentikan, maka sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2) peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002, penghentian perlindungan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 3 hari sebelum perlindungan dihentikan.
4.     Pembiayaan
Pasal 8 peraturan pemerinthan nomor 2 tahun 2002 menentukan : (1) korban dan saksi tidak dikenakan biaya apapun atas perlindungan yang diberikan kepada dirinya; (2) segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan perlindungan terhadap korban dan saksi diberikan pada anggaran masing-masing instansi aparat penegak hukum atau aparat keamanan
5.     Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi
Pasal 35 menentukan : (1) setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi; (2) kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM; (3) ketentuan mengenai kompensasi, restitusai dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
            Pada saat sekarang, peraturan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (3) adalah peraturan pemerintah nomor 3 tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
            Dalam penjelasan umum peraturan pemerintah nomor 3 tahun 2002 disebutkan bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrat melekat pada diri manusia, bersivat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.

2.5  KETENTUAN PIDANA
A.  Perbuatan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, disamping memuat hukum acara yang berlaku khusus di pengadilan Hak Asasi Manusia (hukum formal), juga memuat hukum metril yaitu berupa ketentuan pidana berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Menurut ketentuan undang-undang nomor 26 tahun 2000, bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.
Pasal 7 undang-undang nomor 26 tahun 2000 menjelaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut terdiri dari :
1.      Kejahatan genosida.
2.      Kejahatan terhadap kemanusiaan.

B.       Sangsi Pidana
Terhadap perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana di atur dalam pasal 8 dan pasal 9 Undang-undang Nomor 26 tahun 2000, dapat dijatuhkan sangsi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 36 s/d pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, yang mengatur sistem pidana maksimal dan minimal.
Untuk jelasnya dan untuk mudah dipahami di bawah ini dikutip langsung pasal-pasal tersebut yaitu sebagai berikut :
Pasal 36 :         “setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana di maksud dalam pasal 8 huruf a,b,c,d atau e di pidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 tahun.
Pasal 37 :         “setiap orag yang melakukan perbuatan sebagaimana di maksud dengan pasal 9 huruf a,b,c,d,e atau j di pidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pindana paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 tahun.
Pasal 38 :         “setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c, di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun paling singkat 5 tahun”.
Pasal 39 :         “setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun”.
Pasal 40 :         “setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf g,h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan paling singkat 10 tahun “.
Pasal 41 :         “percobaan, permupakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 atau pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana di maksud dalam pasal 36, pasal 37, pasal 38, dan pasal 40.
Yang dimaksud dengan “ permupakatan jahat” dalam pasal ini adalah 2 orang atau lebih sepakat akan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, pertanggungjawaban pidana tidak saja dapat dibebankan kepada pelaku atau yang membantu melakukan, tetapi juga dapat dibebankan kepada komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer atau seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, apabila tindak pidana yang dilakukan berada dalam yuridiksi pengadilan hak asasi manusia.
Selanjutnya menurut ayat (3) perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatas dapat diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, pasal 37, pasal 38, pasal 39, dan pasal 40 UU No. 26 tahun 2000 .
Yang dimaksud dengan tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan Hak AsasiManusia dalam pasal 42 tesebut di atas adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 26 tahun 2000.
Apabila kita perhatikan rumusan pasal 42 tersebut, jelas terlihat adanya beberapa unsur yang merupakan syarat terjadinya tindak pidana yang sebagaimana dimaksud pasal 42, yaitu sebagai berikut :
1.      Adanya komandan atau atasan yang bertabggung jawab atas pengendalian yang efektif terhadap pasukan atau bawahannya.
2.      Komandan atau atsannya tersebut mengetahui atau patut mengetahui bahwa pasukan atau bawahannya sedang melakukan atau barusaja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
3.      Komandan atau atasannya tersebut tidak berupaya mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan atau pemutusan.
Dalam pemeriksaan pelangaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2000, tidak berlaku ketentuan mengenai wewenang atasan yang berhak menghukum dan perwira penyerah perkara sebagaimana di maksud pasal 123 undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang pengadilan militer.
Untuk lebih mudah memahami beberapa ketentuan pidana sehubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dibawah ini akan di sajikan dalam bentuk matriks, sebagai berikut :
TABEL 1
SANGSI PIDANA

Pasal

Perbuatan

pasal
Ancaman pidana
Paling lama
Paling singkat
Pasal 8
Huruf a.

Huruf b



Huruf c.



Huruf d.


Huruf e.
Kejahatan genosida
-       Membunuh anggota kelompok

-        Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.

-        Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.

-        Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok kelompok.

-        Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
36
-pidana mati atau
-pidana penjara

-pidana penjara
 Paling lama 25 tahun
-pidana penjara 10 tahun
Pasal 9

Huruf a.

Huruf b.



Huruf d.

Huruf e.



Huruf j.
-        Kejahatan terhadap kemanusiaan.

-        Pembunuhan


-        Pemusnahan



-        Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

-        Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara wewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional.

-        Kejahatan apartheid
37
-  Pidana mati atau

-  Pidana penjara seumur hidup atau

-  Pidana penjara paling lama 25 tahun
-   Pidana penjara 10 tahun

Pasal 9


Huruf c.
-       Kejahatan terhadap kemanusiaan

-       Perbudakan
38
-  Pidana penjara 15 tahun
-   Pidana penjara 10 tahun
Pasal 9


Huruf f.
-       Kejahatan terhadap kemanusiaan

-       Penyiksaan
39
-  Pidana penjara 15 tahun
-    Pidana penjara 10 tahun
Pasal 9


Huruf g.








Furuf h.









Huruf i.
-       Kejahatan terhadap manusia


-       Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara

-       Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etritis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

-       Penghilangan orang secara paksa
40
-  Pidana penjara 20 tahun
-   Pidana penjara 10 tahun

2.6  Studi Kasus Pelanggaran HAM Tahun 1965-1966 Dalam Sidang Pengadilan HAM (People’s Tribunal) Di Denhaag Belanda

A.    Kronologi
        Gerakan 30 September (G 30S/ PKI )  di bawah pimpinan Letkol Untung (G 30S/Untung) yang melakukan aksinya dengan penahanan dan pembunuhan para jendral AD pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, sudah berakhir pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah dihancurkan oleh pasukan  Suharto. Kemudian Presiden Soekarno membentuk Mahmilub yang berwewenang mengadili mereka yang tersangkut dalam gerakan tersebut.
        Setelah G 30S/PKI habis riwayatnya, di sepanjang tahun 1965-1966 di beberapa daerah Indonesia terjadi banyak kejadian pembunuhan, penahanan, penghilangan dengan paksa, penganiayaan secara massal tanpa melalui proses hukum terhadap orang-orang yang didakwa anggota PKI serta pendukungnya dan para Soekarnoist. Semua peristiwa tindak pidana inilah yang  disebut kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-1966.
           Masalah hukum/HAM, yang timbul setelah dihancurkannya G30S/Untung ialah masalah yang berkaitan terjadinya pembunuhan, penahanan, penghilangan paksa, penganiayaan secara massal pada 1965-1966 tanpa melalui proses hukum, yang korbannya antara 500.000 sampai 3 juta manusia yang tidak tahu apa-apa tentang G 30S/PKI, baik yang berkaitan dengan warganegara Indonesia di tanah air mau pun di luar negeri (yang tanpa proseur hukum dicabut paspornya).
           Setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.
Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Cina" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat. Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

B.                 PENYELESAIAN KASUS
Pada tahun 2008 dalam struktur Komnas HAM dibentuk Tim ad hoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966.  Komnas HAM sesuai tugas serta wewenangnya dan berdasar prosedur hukum yang berlaku berkewajiban melakukan penyelidikan tentang  dugaan adanya pelanggaran HAM berat 1965-1966.
Penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu Menurut UU No. 26/2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan pengaduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk satu KPP HAM untuk melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kedua, DPR kemudian membahas  hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian      membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk pengadilan Ham ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc.
Penyelesaian kedua masalah (G 30S/PKI dan Kasus Pelanggaran HAM berat 1965-1966) berjalan pada jalur masing-masing. Yang dituntut para korban pelanggaran HAM berat 1965-1966 adalah penegakan kebenaran dan keadilan yang manusiawi baginya. Kasus tersebut dituntaskan melalui Pengadilan ad Hoc atau berdasarkan UU Rekonsiliasi. Sedang penyelesaian masalah orang-orang  yang tersangkut G 30S/PKI adalah masalah yang menjadi wewenang Mahmilub.
Dan hingga saat ini belum adanya penyelesaian kasus terkait dengan G30S/PKI dan kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966 sehingga muncul lah sebuah komunitas Situs internet 1965tribunal.org secara resmi diluncurkan hari Rabu, 17 Desember 2014. Para aktivis internasional yang mendukung gerakan ini sebelumnya sepakat mendirikan yayasan International People's Tribunal (IPT) 1965 tahun 2012 di Den Haag. Tujuannya untuk mengungkap kembali berbagai peristiwa sekitar peristiwa 1965, dan memecahkan lingkaran tabu yang selama ini mengungkungi isu itu.
Juga sepertinya ada lingkaran misteri yang menutupinya dan hegemoni yang dilakukan oleh rejim Soeharto yg membenarkan pembantaian itu masih ada di kepala banyak orang termasuk oleh orang-orang yang menamakan dirinya kaum reformis. Mereka masih menganggap PKI sbg dalang G 30 S dan sudah wajar dilakukan pembantai oleh tentara dan para pendukungnya
Untuk kasus 65-66 ini, pengungkapan kebenaran harus tetap dilakukan tetapi rekonsiliasi tidak perlu dilakukan. Karena rekonsiliasi menghasilkan Amnesti. Sedangkan untuk kasus ini yang melakukan pelanggaran adalah negara, sementara yang memberikan Amnesti juga adalah negara. Ini adalah logika berpikir hukum yang salah. Rekonsiliasi dibutuhkan oleh pemerintah tetapi tidak dibutuhkan oleh korban.



















BAB III
KESIMPULAN

            Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan “ekstra ordinary crimes “ dan berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional, dan merupakn tindak pidana yang di atur dalam kitab undang-undang hukum pidana, serta menimbulkan kerugian baik material maupun im material yang mengakibatkan perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera di pulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum dalam mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
            harus mengungkapkan kebenaran tentang adanya pelanggaran HAM secara obyektif, tidak tergantung ada-tidaknya pengakuan, permintaan maaf oleh pelaku dan pemberian amnesty kepada pelaku. Bersamaan dengan diungkapkannya kebenaran tersebut di atas, Komisi harus menegakkan keadilan dengan memberikan keputusan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban. Inilah esensi penting yang seharusnya terkandung dalam UU KKR.















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah.Rozali  & Syamsir. 2001. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ali Mahrus dan Syarif Nurhidayat.2011. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat in Court System & Out Court System Depok : Gramata Publishing.
As’ad Djamhari, Saleh. 1979. Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI (1945 Sekarang). Cet. Ke-2.                                 Jakarta: Pusat Sejarah ABRI
Awwaluddin.Hamid.2012.Ham Politik,Hukum,Kemunafikan Internasional.Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Chandra.Muzaffar.1995.Hak Asasi Dalam Tatanan Dunia Baru.Bandung: Mizan
Drs. C.T.R.Kansil,SH. 1992. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta : Erlangga 
Lorimer, Lomren. 1999. Negara dan Bangsa, Jakarta: Widya Dana M.C, Rickles. 1999. Sejarah Modern Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University 
Mahendra, yusril ihza.2002. Mewujudkan supremasi hukum di Indonesia. Secretariat jenderal departemen kehakiman dan hak asasi manusia RI.
Muladi. 2009. Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep Dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat), Bandung : refika aditama.
Pour, Julius. 2011.       Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
R. Wiyono. 2006. Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,Jakarta:  Kencana Prenada Media Group.












[1] H.Muladi, Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep Dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat), Refika Aditama, Bandung, 2009, Hlm Vii
[2] Lihat Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 (6)
[3] Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat in Court System & Out Court System Gramata Publishing, Depok, 2011, Hlm 44
[4] Rozali Abdullah & Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2001, hlm 47
[5] R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, Hlm 18
[6] Ibid.,hlm 14
[7] Rozali Abdullah & Syamsir, Op.,cit hlm 01-04


[8] R.Wiyono, op.cit, hlm 98-107

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Powered by Blogger.

TUGAS KULIAH, MAKALAH, ADMINISTRASI PUBLIK, KEBIJAKAN, MANAGEMEN, KEPEMIMPINAN, ORGANISASI DAN KEAG

Blogger templates

Blogroll