KUMPULAN TUGAS KULIAH DAN MAKALAH _ADMINISTRASI _ADMINISTRASI NEGARA _ADMINISTRASI PUBLIK _KEBIJAKAN _MANAGEMEN _ORGANISASI _KEAGAMAAN _DAN LAIN LAIN

Friday, 18 November 2016

PILSAFAT POLITIK BARAT PEMIKIRAN Mazhab Edmun Burke, Mazhab Utilitiarian dan Mazhab Idealis mengenai Teori Negara dan pengaruhnya.



BAB I
LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang
Semakin berkembangnya sebuah Negara, maka akan berpengaruh terhadap idiologi yang akan dianut. Biasanya idiologi yang diterapkan suatu Negara tergantung dari bagaimana situasi yang sedang dialami oleh Negara tersebut. Lahirnya pemikiran tentang sebuah Negara dan politik dipelopori oleh para pemikir yang merasa tidak puas terhadap pemerintahan negaranya.
Begitupun dengan kelahiran mazhab-mazhab sebagai bentuk pemikiran dalam menentukan jalannya sebuah Negara. Banyak para pemikir barat yang melahirkan mazhab sesuai dengan apa yang mereka yakini. Terutama untuk masalah pemerintahan, politik dan hukum.
Mereka mengedepankan tentang masalah keadilan dan kebenaran yang hakiki. Dimana Negara dapat membentuk sistem pemerintahan yang baik sesuai dengan moralitas dan mengedepankan kehidupan masyarakat.
Setiap mazhab memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai hakikat sebuah kebenaran dan keadilan. Hal tersebut dapat diyakini dan diterapkan sesuai dengan keyakinan dan budaya yang dianut oleh sebuah Negara.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Jelaskan tentang Mazhab Edmun Burke?
2.      Bagaimana pemikiran tentang Mazhab Utilitiarian?
3.      Apa yang dimaksud Mazhab Idealis mengenai Teori Negara?

1.3 Tujuan
1.      Menjelaskan tentang Mazhab Edmun Burke.
2.      Menjabarkan pemikiran tentang Mazhab Utilitiarian.
3.      Mengetahui Mazhab Idealis mengenai Teori Negara dan pengaruhnya.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mazhab Edmun Burke
A.    Biografi Pemikir Politik Edmund Burke
Edmund Burke lahir pada tahun 1729 di Dublin, Irlandia. Burke memiliki seorang ayah pengacara Protestan Irlandia dan ibu yang menganut Katolik. Meski demikian Burke lebih memilih keyakinan ibunya dan menjadi seorang Katolik seperti saudara perempuannya. Di masa muda ia belajar politik praktis. Meskipun di Irlandia masyarakatnya mayoritas Katolik, tapi Burke tetap menghormati penganut Protestan.
Tahun 1750 ia pergi ke London untuk menimba ilmu hukum, tapi kemampuannya lebih condong ke arah politik daripada hukum. Di tahun 1756 Burke menerbitkan tulisannya yang berjudul A Vindication of Natural Society, tulisan Burke ini berisi banyak ide yang dicetuskan secara mendalam. Tulisan ini diterbitkan setelah Burke melakukan penelitian.
Di dalam tulisannya Burke menulis kekurangan dari moral, dasar-dasar masyarakat, dan kebebasan individu dalam mengeluarkan aspirasi (demonstrasi). Spekulasinya tentang masalah politik perlahan menjadi jelas, salah satunya yaitu “pemerintahan sipil mendapatkan kekuatan dari hukum gereja”. Umumnya Burke mengatakan “gagasan dari agama dan pemerintahan sangat dekat hubungannya”.
Burke memiliki keinginan lebih untuk masuk dan mendalami dunia politik daripada mendalami sastra dan saat berusia 37 tahun ia menjadi anggota parlemen atau wakil rakyat. Selama menjadi penyambung suara rakyat Burke menjadi salah satu politikus dan penulis yang dipandang pada waktu itu, meski demikian ia tidak pernah diizinkan untuk berkunjung ke kantor kabinet. Kesungguhannya dalam mendedikasikan diri pada pemerintahan Inggris tidak mampu menghilangkan statusnya sebagai pendatang baru di dunia politik Inggris.
Burke merupakan penganut sistem aristokrasi yang di mana ia menganggap aristokrasi merupakan bagian dari kesempurnaan suatu rencana dari sebuah pemerintahan masyarakat, dan dia menerima keadaan dengan sangat gembira. Di akhir hidupnya Burke mengatakan “aku tidak memiliki pengaruh dalam keindahan, tidak memperkuat kesenian, tidak merekomendasikan seorang pria untuk memiliki kemurahan hati dan perlindungan dari sebuah kekuasaan. Tapi aku hanya ingin berguna bagi negara ku.”

B.     Pemikiran-Pemikiran Politik
Edmund Burke yang dikenal sebagai pemikir politik yang vocal pada zamannya mengkritik revolusi Perancis karena mengusungkan adanya kebebasan yang nantinya pemerintah Perancis akan bebas dari batasan apapun. Burke mengatakan manusia terlalu banyak menggunakan nalar dalam pemerintahannya, ia menjelaskan bahwa nalar tidak akan mampu memimpin suatu pemerintahan karena setiap orang memiliki nalar yang berbeda. Pendapat Burge inilah yang disebut sebagai pemikiran konservatisme.
Berkat pemikirannya itu Edmund Burke dikenal sebagai Bapak Konservatisme, teori konservatisme ini kemudian diikuti oleh Frederich Hegel yang mengatakan “Kehendak negara selama ini bukan berarti kehendak rakyat secara keseluruhan karena masing-masing individu memiliki beraneka ragam pendapat subjektif sifatnya, yang tergantung kebutuhan seseorang.” Hal ini dapat kita terima karena di suatu negara pasti  ada masyarakat yang pro dan kontra terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Selain dikenal dengan julukan Bapak Konservatisme, Edmund Burke juga dikenal sebagai pencetus teori Kontrak Sosial. Teori ini menggambarkan bagaimana suatu negara terbentuk serta kekuasaan yang muncul sebagai kekuatan dari adanya negara. Teori ini merupakan teori yang paling relevan yang menjelaskan bagaimana suatu negara terbentuk secara ideal. Karena teori ini menjelaskan adanya kesepakatan atau perjanjian antara masyarakat dengan negara untuk mencapai kehidupan yang telah dicita-citakan bersama.
Semasa hidupnya Edmund Burke juga menulis buku yang berjudul “Reflections on the Revolution in France”, dampak yang diakibatkan oleh buku ini yaitu konflik ideologi, pergolakan moral yang tercermin dari gaya hidup dan bahasa, perubahan pandangan hidup (filosofi), dan perubahan ilmu agama. Tapi tujuan Burke menulis buku ini adalah demi terciptanya kehidupan yang terarah dalam suatu kebijaksanaan.
Revolusi Perancis untuk Burke merupakan peristiwa yang lebih dari sekedar konflik internal di dalam negara Perancis itu sendiri, tapi merupakan revolusi dari doktrin dan ajaran agama. Bukan hanya itu revolusi yang terjadi pada tahun 1789 ini memaksa Majelis Nasional Prancis untuk melakukan sidang membuat keputusan menghapus hak istimewa kaum bangsawan dan selanjutnya mengumumkan persamaan hak warga negara. Hal ini kemudian dikenal dengan Declaration des droits de I’homme et ducitoyen.
C.    Kritik Terhadap Pemikiran Pemikir Politik
Mengambil pendapat Frederich Hegel tentang negara dan masyarakat maka teori yang dikemukakan oleh Burke memang pantas untuk membuat atau menciptakan pemerintahan ideal pada suatu negara. Hegel berpendapat bahwa masyarakat harus menerima segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah karena negaralah yang berwenang memiliki hak memaksakan dalam kehidupan berpemerintahan, dan negara sendiri dicita-citakan dan didambakan oleh manusia itu sendiri.
Dalam konsep teori kedaulatan negara, teori Burke memiliki kemiripan karena di dalam teori kedaulatan negara negara yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk pada negara karena adanya hukum karena eksistensi negara, dan ketiadaan hukum juga berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Teori kedaulatan negara ini dianut oleh Jean Bodin, dan Georg Jellienk.
Teori kontrak sosial dari Edmund Burke juga memiliki kesamaan dengan teori dari Hobbes, yang di mana setiap manusia pasti memiliki hasrat dan nafsu masing-masing. Nafsu dan hasrat ini akan menggerakkan manusia untuk bertindak, apabila tidak ada kontrak atau perjanjian yang disepakati maka akan terjadi peperangan untuk memperjuangkan hasrat dan kepentingan masing-masing. Hal ini lah yang dikritik oleh Hobbes.
Namun pada ajaran Karl Marx teori Konservatisme dari Burke sangat bertolak belakang karena Marx adalah seorang komunis sedang Burke adalah seorang liberalis. Marx memiliki motto “Wahai kaum buruh di seluruh dunia, bersatulah!” Inilah yang diikuti oleh kaum komunis yang menghendaki sama-rasa sama-rata di seluruh dunia. Teori dari Marx menginginkan antara si pemilik modal dan buruh memiliki kedudukan yang sama, tidak memandang jabatan atau kekayaan.
Apabila kita menarik fenomena ekonomi di Indonesia, teori yang telah dicetuskan oleh Edmund Burke tentang konservatisme dapat digunakan untuk menjawab persoalan antara para pemilik modal dengan pekerja atau buruh karena adanya kesepakatan yang disetujui bersama sebelum kontrak kerja dijalankan demi mengurangi terjadinya gesekan antara kedua belah pihak.
D.    Nilai Konservatisme
Ide yang diperjuangkan oleh Edmund Burke adalah suatu pemikiran mengenai nilai konservatisme. Konservatif muncul sebagai reaksi atas terjadinya Revolusi Prancis pada 1789, namun banyak pendapat yang mengutarakan bahwa konservatisme telah muncul sejak reformasi dengan adanya karya-karya teolog Anglikan yang berpengaruh. Pengaruh konservatisme meluas dengan adanya tokoh Edmund Burke yang menulis pemikirannya dalam Reflection on the Revolution in France, sehingga nilai konservatisme mulai tersalurkan pandangan atau ide-idenya. Ide atau gagasan yang ingin disebarluaskan oleh Burke adalah dianutnya kembali nilai-nilai tradisional ditengah perkembangan modernitas.
Edmund Burke terkenal dengan ide nya tentang konservatisme modern, karena Burke hidup di masa abad 18, masa dimana terjadinya pencerahan, namun Burke kurang setuju dengan pemikiran-pemikiran di masa itu yang mereduksi nilai tradisional dengan pemikiran modern, namun Burke juga tidak menolak sepenuhnya perubahan yang terjadi disamping dengan adanya dukungan terhadap nilai-nilai tradisional. Oleh karena itu, Edmund Burke dianggap sebagai bapak konservatisme modern.
E.     Hakekat Manusia
Menurut Edmund Burke manusia memiliki tingkat nalar yang berbeda-beda, sehingga apabila manusia yang memiliki tingkat nalar rendah menjalankan pemerintahan, maka akan terjadi kekacauan. Oleh karena itu, Burke mendorong adanya penggunaan nilai-nilai masa lalu dan lembaga keagamaan seperti gereja dalam menjalankan sistem pemerintahan. Burke menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik, namun manusia sering melakukan kesalahan yang didasarkan pada keinginannya dibanding mengikuti kebenaran sesuai akal pikiran. Nilai agama dianggap sebagai solusi untuk mengembalikan manusia dalam kebenaran dan kehidupan yang lebih baik. Menurut Burke, persamaan manusia hanya terletak pada kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk rasional dan makhluk bermoral ciptaan Tuhan, sehingga adanya usaha untuk pemerataan kondisi ekonomi, sosial, dan intelektual merupakan sebuah kekeliruan yang tidak ilmiah. Persamaan dan pemerataan yang ingin dicapai tersebut akan merusak tatanan ilmiah dan membuat kehidupan semakin kacau.
F.     Hakekat Negara
Menurut Burke, proses pembentukan negara tidak dapat dipaksakan dengan adanya revolusi secara radikal, karena akan menghancurkan negara itu sendiri. Negara terbentuk dengan cara organis, yaitu negara terbentuk dimulai dari sitem terkecil. Tahapannya adalah negara terbentuk dari keluarga, keluarga berkumpul membentuk desa, kumpulan desa disebut dengan polis, dan terakhir berbagai kesatuan polis membentuk negara. Negara bukan sesuatu yang tercipta secara cepat atau sesuai dengan yang diinginkan, namun merupakan suatu proses yang memiliki tahapan dalam kehidupan sosial dan moral. Negara harus memiliki konstitusi yang mengatur kehidupan masyarakat atau warganya. Menurut Burke, undang-undang atau konstitusi sebuah negara memiliki keterkaitan dengan ajaran agama (gereja) agar terbentuk peraturan yang menata kehidupan masyarakat dan menolak pergerakan masyarakat secara radikal. Alasan lain adanya keterkaitan tersebut adalah pada dasarnya negara merupakan bagian dari ciptaan Tuhan.
G.    Tipe Pemerintahan
Dalam menjalankan pemerintahan diperlukan suatu kombinasi antara monarki absolut dengan demokrasi, karena menurut Burke penting adanya partisipasi dari masyarakat secara terus menerus dan konsisten baik dari golongan minoritas maupun mayoritas, sehingga dapat menyuarakan pendapatnya kepada pemerintahan. Kombinasi antara monarki absolute dengan demokrasi diharapkan dapat menciptakan keseimbangan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang sosial dan politik.
Edmund Burke juga menekankan adanya norma atau moral agama yang mengatur adanya demokrasi tersebut, sehingga muncul gagasan untuk membentuk gereja nasional dan pemerintahan aristokrat, karena pada dasarnya menurut Burke, pemerintah adalah sebuah alat hikmat manusia untuk menyediakan apa yang manusia inginkan. Pada masa sekarang negara yang menerapkan ideologi Edmund Burke dalam menjalankan pemerintahan negaranya adalah negara Inggris, yaitu Inggris dari sistem pemerintahan monarki absolute berganti ke monarki konstitusionalisme.
H.    Peran Wakil
Dalam menjalankan pemerintahan tetap ada wakil rakyat atau legislator. Peran wakil adalah sebagai pembuat kesimpulan atau menyuarakan pendapat dari rakyat yang berada jauh dari tempat pemerintahan. Edmund Burke menekankan bahwa wakil harus memiliki hubungan yang erat dengan pemilihnya untuk memeperhatikan setiap keinginannya, menyuarakan pendapatnya dan memperhatikan keluhan pemilihnya. Resiko yang diterima menjadi seorang wakil adalah berkurangnya waktu pribadi yang dimiliki untuk menyalurkan keinginan, kesenangan mereka demi mewujudkan kesejahteraan para pemilihnya dengan cara membuat keputusan terbaik yang membawa manfaat bagi pemilih, bangsa dan negaranya.
Edmund Burke juga menjelaskan keterkaitan wakil dengan wakil Tuhan, yaitu wakil rakyat atau legislator merupakan anugrah dari Tuhan yang bertanggung jawab dan dimintai pertanggung jawaban atas semua yang dilakukan baik berupa kebaikan maupun tindakan penyelewengan. Penyelewengan yang dimaksud adalah jika wakil tersebut melakukan tindakan khianat kepada pemilihnya.
I.       Premis-premis yang Telah Diajukan Edmund Burke dan Situasi Politik pada Saat Itu
Edmund burke adalah salah satu tokoh yang menentang keras Revolusi Perancis pada saat itu. Pada dasarnya, Revolusi Perancis mengadakan sebuah kebebasan di mana tatanan pemerintahan Perancis bebas dari batasan manapun. Akan tetapi Burke hadir dengan pemikiran konservatisme sehingga ia dijuluki Bapak Konservatisme di mana hal ini juga tertuang dalam karyanya yang berjudul Reflections on the Revolution in France .
Karena manusia terlalu banyak menggunakan nalar dalam pemerintahannya, Burke menjelaskan bahwa nalar tidak akan mampu untuk memimpin dalam pemerintahan karena nalar setiap orang berbeda. Konservatif yang diusung oleh Burke adalah masyarakat yang lebih terstruktur dan tertata di mana pemerintahannya boleh mengikat namun bertanggung jawab seutuhnya atas setiap pengambilan keputusan, bertanggung jawab pasa setiap lapisan masyarakat terutama masyarakat yang lemah dan minoritas yang selama ini sering “terpinggirkan”, adanya keterkaitan antara negara dan agama (gereja) karena menurut Burke selama ini agama menjadi Undang-Undang sebuah negara, mendukung peraturan yang menata kehidupan masyarakatnya, serta menolak aliran-aliran radikal.
Diperlukan sebuah kontrak sosial yang mampu mengatur masyarakatnya dan berlaku seumur hidup serta memiliki aturan-aturan yang jelas apabila poin dalam kontrak sosial tersebut dilanggar.
Manusia menurut Burke pada dasarnya baik, namun seringkali melaksanakan sesuatu karena adanya dorongan keinginan bukan karena akal sehat yang berjalan.Manusia juga dianggap sebagai bagian besar perpolitikan, oleh karena itu politik harus disesuaikan dengan watak manusia namun harus pula menyadari bahwa watak manusia bukan bagian yang terbesar.
Burke yang selalu berorientasi pada masa lalu beranggapan bahwa sistem politik yang paling ideal adalah gabungan antara monarki, absolut, dan demokrasi dengan antusias dan partisipasi rakyat yang terus menerus dan konsisten serta pukul rata terhadap semua golongan baik minoritas maupun mayoritas harus mendapatkan tempat yang sama serta didengarkan suaranya dalam pemerintahan.
Hidup Burke dihabiskan dalam urusan parlemen dari pertengahan 1760-an, dan ini membuat perbedaan untuk gaya aktivitas intelektual. Hal ini tidak salahdan pada tahun 1771 Burke menyatakan bahwa “Saya telah berusaha sepanjang hidup untuk melatih pemahaman saya dan emosi saya dalam studi dan kebiasaan Filsafat”, pada saat yang sama ia menyimpulkan bahwa “Prinsip saya semua diselesaikan dan diatur”. Alasannya adalah untuk mempengaruhi opini, baik di Parlemen dan dari jabatannya sebagai anggota legislatif, dan menentukan penilaian di House of Commons itu sendiri.
Masalah umum untuk kedua hal tersebut adalah pandangan Burke tentang kata-kata pusat untuk pemahaman politik. Burke pada saat itu merupakan negarawan yang mengajukan sebuah argumen bahwa ia sangat menentang Revolusi Perancis yang pada saat itu sedang bergejolak. Pada dasarnya, Revolusi Perancis mengadakan suatu kebebasan dimana tatanan negara di Perancis benar-benar bebas dalam artian bebas dari batasan.
J.      Gagasan-gagasan yang Telah Dikemukakan Edmund Bruke
Burke mengkritik keras terhadap aksi radikalisme dalam Revolusi Perancis. Kritik yang dikemukakan oleh Burke dikarenakan masyarakat bukanlah sebuah mekanisme yang dapat di ubah-ubah menjadi beberapa bagian lalu dibangun kembali dengan cara berbeda. Masyarakat adalah organisme yang rentan dan apabila proses tradisi itu terganggu, maka akan menyebabkan sebuah kekacauan. Burke menyatakan pula bahwa setiap individu membutuhkan bimbingan moral dan kekuasaan, sehingga kemudian Burke mengusulkan adanya sebuah gereja nasional dan pemerintahan aristokrat pada masa itu.
Dia tidak percaya dengan demokrasi karena menurut pemikirannya demokrasi hanya akan mengubah prosespolitik menjadi sebuah perang antara kepentingan pribadi. Burke mendukung konsep hak milik dan ekonomi pasar akan tetapi dia menyatakan bahwa kepentingan individu harus dikendalikan oleh moral.
Dia mendesak para pengusaha untuk tetap berperilaku terhormat dalam menempatkan tugasnya demi masyarakat untuk memperoleh keuntungan maksimum. Dia juga ingin aktivitas ekonomi tetap relatif bebas dari intervensi pemerintah akan tetapi ia juga percaya bahwa kebebasan membutuhkan struktur kekuasaan untuk menahan keinginan individu. Pandangan Burke jelas beroposisi. Dalam pemikiran konservatisnya, ada sebuah gagasan yang disebut dengan ‘Pencerahan’ yang menandakan adanya sebuah tatanan negara yang lebih teratur. Hal tersebut terkait dengan penolakannya terhadap Revolusi Perancis, dimana menurutnya negara boleh saja bebas, akan tetapi tetap menggunakan moral. Ini yang kemudian membuat ia menentang prinsip liberalisme yang menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Untuk Burke, ada tatanan alam dalam urusan manusia, tetapi muncul tidak dari “dibangun” pengertian hukum alam dan hak alamiah melainkan dari pengalaman sejarah; hak yang melekat pada orang tidak dalam keadaan alam tetapi dalam tekstur kebutuhan manusia dan apa yang disebut “kemitraan” masyarakat. Pemerintah, Burke menegaskan, adalah “sebuah alat hikmat manusia untuk menyediakan apa yang manusia inginkan”.
Menurut Burke, perlu adanya kontrak sosial untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Kontrak sosial tersebut berlaku seumur hidup selama manusia tersebut menjadi seorang warga negara. Masyarakat memiliki kebebasan di suatu negara akan tetapi tidak berarti tidak ada sistem yang mengontrol perilakunya tersebut. Sebagai seorang warga negara, rakyat harus mematuhi peraturan dan kebijakan negara, akan tetapi tidak serta-merta seluruh aturan dan kewajiban harus diikuti, rakyat tetap berhak memilih mana aturan yang harus dipatuhi dan mana aturan menyimpang yang harus dihindari.
Pemikiran Edmund Burke bertumpu pada dua jalur yang terbentuk ketika Burke menempuh pendidikan tinggi di Trinity, Dublin. Dua pemikiran tersebut meliputi konsep teologi, kemajuan peradaban, politik dan metodologi filsafat. Konsep ketuhanan dan teologi Burke melebur dengan konsep politik dan hukum yang menganggap bahwa hukum yang buruk merupakan bagian kelam dari sebuah tirani. Hukum yang teridentifikasi buruk identik dengan kekuasaan yang melampaui atau mengingkari konstitusi yang berimplikasi pada meningkatnya bahaya potensial yang ditimbulkan penguasa.
Salah satu contoh, usaha pengembalian kekuasaan kerajaan Britania Raya paska melemahnya pengaruh kerajaan pada masa George I dan II yang dipimpin oleh George III dianggap bertentangan dengan esensi konstitusi Britania Raya, mengingat kekuasaan konstitusional raja dan parlemen memiliki intensitas yang sama. Oleh sebab itu, Burke yang menjabat sebagai sekretaris pribadi petinggi Partai Whig di parlemen, Marquess Rockingham, memberikan redefinisi terhadap fungsi partai politik, bahwa partai politik merupakan asosiasi masyarakat yang memiliki kesamaan visi dan ideologi untuk menjadi penghubung antara raja dan parlemen dengan bertindak sebagai kritikus oposisi.
2.2 Mazhab Utilitarian
Utilitarianisme lahir sebagai bentuk filsafat moral dan politik yang matang dibidani oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Paham ini hadir untuk mengkritisi tradisi hukum kodrat (natural law) yang berkibar di Inggris Raya pada saat itu. Natural law merupakan sistem hukum yang merujuk pada aturan yang dianggap berasal dari Tuhan dan hal-hal metafisika lainnya  yang menurut Bentham, produk-produk hukumnya bertentangan dengan kebutuhan empiris manusia.
Utilitarianisme ialah idea atau fahaman dalam falsafah moral yang menekankan prinsip manfaat atau kegunaan dalam menilai sesuatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar. Dengan prinsip kegunaan dimaksudkan prinsip yang menjadikan kegunaan sebagai tolok ukur pokok untuk menilai dan mengambil keputusan apakah suatu tindakan itu secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Tindakan yang secara moral benar adalah tindakan yang berguna.
Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan.Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). Oleh karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya.Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.
Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial,  jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.
Utilitarianisme secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan dikembangkan secara lebih luas oleh James Mill dan John Stuart Mill. Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin kebahagiaan di dunia ini.
Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan atau Manfaat’ (the principle of utility). Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas yang menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga merupakan ukuran moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan cara’.
Bentham memperkenalkan metode untuk memilih tindakan yang disebut denganutility calculus, hedonistic calculus, atau felicity calculus. Menurutnya, pilihan moral harus dijatuhkan pada tindakan yang lebih banyak jumlahnya dalam memberikan kenikmatan daripada penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Jumlah kenikmatan ditentukan oleh intensitas, durasi, kedekatan dalam ruang, produktivitas (kemanfaatan atau kesuburan), dan kemurnian (tidak diikuti oleh perasaan yang tidak enak seperti sakit atau kebosanan dan sejenisnya).
1.      Para utilitarian menyusun argumennya dalam tiga langkah berikut berkaitan dengan pembenaran euthanasia (mercy killing):
2.      Perbuatan yang benar secara moral ialah yang paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia.
3.      Setidaknya dalam beberapa kesempatan, perbuatan yang paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia bisa dicapai melalui euthanasia.
4.      Oleh karena itu, setidaknya dalam beberapa kesempatan, euthanasia dapat dibenarkan secara moral.
Sekalipun mungkin argumen di atas tampak bertentangan dengan agama, Bentham mengesankan bahwa agama akan mendukung, bukan menolak, sudut-pandang utilitarian bilamana para pemeluknya benar-benar memegang pandangan mereka tentang Tuhan yang penuh kasih sayang.
Pada sisi lain, para utilitarian menolak eksperimen saintifik tertentu yang melibatkan binatang, lantaran kebahagiaan atau kenikmatan harus dipelihara terkait dengan semua makhluk yang bisa merasakannya terlepas apakah ia mukhluk berakal atau tidak. Lagi-lagi, buat mereka, melakukan hal yang menambah penderitaan adalah tindakan imoral.
Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy Bentham, James Mill dan anaknya,  John Stuart Mill, dapat diringkas dalam tiga proposisi berikut :
·         Semua tindakan mesti dinilai benar atau baik atau salah atua jelek semata-mata berdasarkan konsekuensi-konsekuensi atau akibat-akibatnya. 
·         Dalam menilai konsekuensi-konsekuensi atau akibat-akibat itu, satu-satunya hal yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Jadi, tindakan-tindakan yang benar adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan terbesar ketimbang penderitaan. 
·         Dalam mengkalkulasi kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan, tidak boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Kesejahteraan tiap orang sama penting dalam penilaian dan kalkulasi untuk memilih tindakan.
Gagasan Utilitarianisme yang menyatakan bahwa ‘kebahagiaan itu adalah hal yang diinginkan dan satu-satunya tujuan yang diinginkan, semua hal lain diinginkan demi mencapai tujuan itu’ jelas mirip dengan gagasan Hedonisme. Dan Hedonisme, seperti kita tahu, adalah keyakinan klasik bahwa kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi dalam kehidupan. Istilah Hedonisme sendiri beasal dari kata Yunani yang bermakna kesenangan. Hanya saja, Epicurus, tokoh utama Hedonisme percaya bahwa manusia seharusnya mencari berbagai kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pikiran ketimbang tubuh. Katanya, orang bijak harus menghindari kesenangan2 yang akhirnya akan berujung pada penderitaan.
Utilitarianisme cenderung menyamakan kebaikan dengan kebahagiaan. Hedonisme gagal karena kesenangan inderawi sederhana pada akhirnya bertentangan dengan tujuan-tujuan yang lebih kompleks. Asketisme gagal karena usahanya memberangus nafsu dan tujuan-tujuan alamiah. Egoisme gagal karena kebebasan personal yang tidak dapat diganggu gugat pada akhirnya akan bertentangan dengan perlindungan maksimalnya. Stoisisme menyamakan kebaikan dengan kebajikan. Eksistensialisme dan pesimisme salah karena menga
Definisi Nilai Nilai, dalam filsafat, adalah suatu prinsip atau standar untuk mempertimbangkan baik buruknya sesuatu. Baik adalah sesuatu yang menyenangkan dan sesuai bagi maksud tertentu, sedangkan buruk berarti yang tidak menyenangkan dan tidak sesuai bagi maksud tertentu. Benar adalah kesesuaian putusan atau hasil kebaikan tertinggi (dan tidak sekedar mendekati kebaikan), sedangkan salah berarti ketidaksesuaian putusan atau hasil kebaikan tertinggi.
Sumber Nilai-Nilai Nilai-nilai diturunkan dari maksud-maksud dan keinginan-keinginan. Keinginan adalah hasrat-hasrat yang muncul dari muatan rasa senang dan rasa sakit. Keinginan-keinginan tersebut bisa saja berbenturan antara satu dengan yang lain, seiring dengan maksud dan kemampuan. Maksud adalah hasrat bagi tercapainya tujuan tertentu. Kebahagiaan adalah kecenderungan manusia untuk mencapai pemenuhan keinginan-keinginan dan hasrat-hasratnya. Tujuan tertinggi bagi sebagian besar umat manusia adalah keterjagaan diri yang menampak pada tiga hal :
·      Keberlangsungan hidup personal, keberlanjutan tubuh, pikiran dan jiwa Keberlangsungan genetis
·      Keberlanjutan keluarga Keberlangsungan memetik
·      Keberlanjutan ingatan dan kreasi-kreasi Minoritas umat manusia memilih tujuan-tujuan alternatif seperti rasa senang, sakit, pengetahuan, keindahan, kasih sayang, keadilan, kelanjutan ekosistem, kapabilitas, ketentraman, atau pembinasaan.
Nilai intrinsik adalah nilai yang berasal dari maksud atau keinginan yang berujung pada maksud dan keinginan itu sendiri, dan tidak murni muncul dari maksud dan keinginan yang lain.


A.    Riwayat Singkat Jeremy Bentham
Jeremy Bentham lahir Houndsditch, London 15 February, 1748. Keluarganya adalah ahli hukum. Bentham hidup selama masa perubahan sosial, politik dan ekonomi. Revolusi industrial (dengan perubahan sosial dan ekonomi yang masif yang membuatnya bangkit, juga revolusi di prancis dan America semua merefleksikan pikiran Bentham. Tahun 1760, Bentham masuk Queen's College, Oxford dan lulus tahun 1764, belajar hukum. Meskipun cukup qulified, ia tidak mempraktekkan ilmu hukummnya.
Bentham menghabiskan waktunya dengan belajar, sering menulis 6-8 jam perhari. Bentham tidak menulis single text. Teori kerjanya yang paling penting adalah the Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), dimana banyak teori moralnya yang dia sebut "the greatest happiness principle" , digambarkan dan dikembangkan.
Tahun 1781, Bentham menjadi associated Earl of Shelburne dan melalui dia, mendapat kontak dan jaringan. Meskipun begitu hanya sebagian saja yang sangat menghargai karyanya. Ide-ide Bentham masih kurang dihargai. Tahun 1785, menemui kakaknya Samuel di Russia. Pada tahun 1791, Bentham membuat usulan "aneh" yakni sebuah desain gedung penjara yang diberi nama Panopticon yang berarti "melihat semuanya". Panopticon terdiri dari sel-sel yang disusun secara melingkar dengan pintu sel menghadap ke dalam inti lingkaran tersebut. Dinding antarsel dibuat tebal agar komunikasi antarpenghuni sel tidak terjadi. Di bagian belakang sel dipasang jendela kecil agar cahaya dapat masuk menerangi isi sel. Di pusat lingkaran sel-sel tersebut dibangun sebuah menara pengawas dengan jendela penutup. Dengan konfigurasi seperti ini, si penjaga dapat melihat semua penghuni sel sementara penghuni sel tidak dapat melihat si penjaga.
Saat meninggal di London, 6 Juni 1832, Bentham meninggalkan puluhan ribu halaman—beberapa diantaranya hanya berupa sketsa, yang sedang digagasnya untuk diterbitkan. Dia juga meninggalkan rumah besar, yang digunakan untuk membiayai Newly University College, London.

B.     Pandangan Bentham Tentang Kebahagiaan
Ada tiga karakteristik utama dari basis filsafat moral dan politik Bentham :
·           The greatest happiness principle
·           Universal egoism
·           The artificial identification of one's interests with those of others.
Semua karakteristik ini disebutkan dalam karya-karyanya. Terutama dalam Introduction to the Principles of Morals and Legislation, dimana Bentham berfokus pada pengartikulasian prinsip rasional yang akan menunjukkan sebuah basis dan petunjuk untuk reformasi hukum, sosial dan moral.
Filsafat moral Bentham merefleksikan apa yang ia sebut pada waktu berbeda sebagai "the greatest happiness principle" atau "prinsip utilitas", sebuah istilah yang dipinjamnya dari Hume. Meskipun berhubungan dengan prinsip ini ia tidak hanya mengacu pada kegunaan benda-benda atau tindakan, tapi lebih jauh lagi pada benda atau tindakan yang membawa kebahagiaan umum. Khususnya kewajiban moral yang menghasilkan the greatest amount of happiness for the greatest number of people, kebahagiaan yang ditentukan dengan adanya kenikmatan dan hilankanya kesakitan.
Filsafat moral Bentham, secaa jelas merefleksikan pandangan psikologis bahwa motivator utama dalam diri manusia adalah kenikmatan dan kesengsaraan. Bentham menerima bahwa versinya dari prinsip utilitarian adalah sesuatu yang tidak memasukkan bukti langsung, tapi dia mencatat bahwa hal tersbut bukanlah sebuah masalah sebagaimana prinsip penjelasan tak menunjukkan penjelasan apapun dan semua penjelaan harus dimulai pada suatu tempat. Tapi karena itulah tidak menjelaskan mengapa kebahagiaan lain atau kebahagiaan umum harus dihitung. Dan pada faktanya dia menyediakan sejumlah saran yang dapat disebut sebagai jawaban terhadap pertanyaan mengapa kita harus peduli dengan kebahagiaan orang lain.
·         Pertama, prinsip utilitarianisme adalah sesuatu yang individu, dalam bertindak, mengacu pada eksplisitas dan implisitas, dan ini sesuatu yang dapat ditentukan dan dikonfirmasikan dengan observasi sederhana. Tentunya, Bentham berpegangan bahwa semua sistem moralitas yang ada dapat “direduksi pada the principles of sympathy and antipathy," yang pastinya mampu mendefinisikan utilitas.
·         Kedua, jika kenikmatan adalah sesuatu yang baik, kemudian kebaikannya menggangu kesenangan orang lain. Meskipun, sebuah halangan moral untuk mengiuti atau memaksimalkan kesenangan telah mendorong secara independen dari interest tertentu dari tindakan manusia. Bentham juga menyarankan bahwa individual akan secara beralasan mencari kebahagiaan umum dengan mudah karena hasrat dari orang lain adalah dikepung oleh mereka sendiri, meskipun ia tahu bahwa hal ini adalah mudah bagi bahwa hal tersebut mudah bagi individu untuk dilupakan. Bahkan, Bentham membayangkan sebuah solusi terhadap hal ini secara baik. Secara khusus, dia mengajukan bahwa hal itu membuat identifikasi hasrat yang jelas, ketika dibutuhkan, membawa hasrat berbeda bersama yang akan menjadi tanggungjawab penegak hukum.
Prinsip-prinsip dasar ajaran Jeremy Bentham adalah sebagai berikut :[1]
1.      Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu baru orang banyak. 
2.      Prinsip itu harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama.
3.      Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan :
a.       To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)
b.      To Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah)
c.       To provide security (untuk memberikan perlindungan)
d.      To attain equity (untuk mencapai persamaan)
C.     John Stuar Mill (1806-1873)
Sejalan dengan pemikiran Bentham, Mill memiliki pendapat bahwa suatu perbuatan hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagian. Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.[2] Menurut Mill keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu sampai kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.


2.3 Mazhab Idealis, Teori Negara
“Karena Kebanaran adalah Kesatuan dari Kehendak universal dan subyektif; dan yang Universal harus ditemukan dalam Negara, dalam hukum-hukumnya, dalam bentuknya yang universal dan rasional. Negara adalah Roh Tuhan yang ada di atas Bumi” (Hegel, Philosophy of History).
A.    Teori Pengetahuan Kant
·       Pengetahuan adalah produk bersama dari akal dan materi (Rasionalis dan Empiris)
·       Kant membedakan pengetahuan menjadi dua yaitu :
1.      Pengetahuan a priori yaitu pengetahuan yang sepenuhnya terlepas dari pengalaman.
2.      Pengetahuan a posteriori yaitu hanya bisa diperoleh melalui indera.
B.     Etika Kant
Teori empiris pengetahuan berpendapat bahwa “tidak ada pembuktian tertinggi menyangkut kebenaran atau kesalahan pernyataan moral”, pendapat ini ditentang Kant. Kant berpendapat bahwa terdapat prinsif tertinggi (supreme principle) yang mengontrol semua penilaian moral. Manusia merasa wajib tunduk pada hukum, ia merasakan adanya keharusan dan kewajiban.
Manusia adalah makhluk moral dengan kehendak bebas dan jiwa yang abadi, dan ia hidup dalam dunia yang teratur yang diarahkan oleh intelek yang mengatur. Kebenaran dan kesalahan tidak bisa dibuktikan, ia harus diterima dengan kepercayaan.
Kant merumuskan standar tindakan moralnya, dalam bentuk perintah atau imperatif. Ada dua jenis kewajiban yaitu :
1.      Hipotesis, yang memberi tahu kepada kita apa yang harus kita lakukan jika kita ingin mencapai tujuan;
2.      Kategoris, yang memberi tahu kita apa yang harus kita lakukan sebagai makhluk moral.
Suatu tindakan adalah baik jika pelaku bersedia menjadikan prinsip atau pedoman yang mendasarinya diuniversalkan sebagai hukum bagi semua orang. Kewajiban adalah penting bagi filsafat politik karena tujuannya adalah menjamin prinsip tindakan yang bebas bagi semua anggota masyarakat melalui pengaturan diri.


C.    Teori Politik Kant
Problem politik bagi Kant adalah realisasi imperatif kategoris, pelaksanaan hukum yang sepenuhnya berjalan sendiri, dalam praktik. Sifat mementingkan diri yang tertaman dalam watak manusia yang menyebabkannya terkadang bertindak bertentangan dengan rasa kewajibannya.
Kant berpendapat bahwa negara harus dibangun di atas kebebasan setiap manusia, di atas persamaan warga, dan di atas ketergantungan individu pada dirinya sendiri. Semua hukum yang diundangkan oleh negara haruslah didasarkan atas prinsip-prinsip itu. Masyarakat politik melambangkan imperatif kategoris, karena melalui perangkat-perangkat hukumnyalah tindakan sukarela orang disesuaikan menurut hukum universal kebebasan. Filsafat politik Kant sebagian ada dalam tradisi liberal yang menempatkan peran yang pada dasarnya bersifat negatif pada negara, yaitu menjamin koeksistensi individu yang teratur. Ia merasa bahwa negara dalam menjalankan fungsi ini sebenarnya ikut membantu perkembangan moral warganya.
Menurut Kant, tatanan politik nasional atau internasional baru dapat tercapai apabila prinsip tak berpamrih pada hukum moral diterima oleh manusia sebagai basis moral dari kewajiban hukum. Manusia harus sadar bahwa kebebasan tidak berarti kemampuan untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Kebebasan berarti bertindak menurut suara kehendak hatinya yang rasional, sumber hukum universal.
D.    Idealisme Hegel
Idealisme absolut, teori bahwa realitas pokok semesta ada dalam ide Tuhan atau absolut (the divine or absolute idea). Menurut Hegel, alam adalah keseluruhan yang bersifat koheren, manifestasi eksternal dari rasio absolut atau Tuhan yang secara progresif terungkap dalam ruang dan waktu. Yang absolut adalah roh (geist)
E.     Filsafat Sejarah Hegel
Hegel memahami sejarah sebagai penyimpangan Roh “dalam proses jalannya pengetahuan akan sesuatu yang mungkin”.Ia adalah tahapan sementara dari yang absolut dalam perjalannya menuju penyempurnaan. Dengan melakukan studi sejarah secara cepat, manusia bisa mencapai pengetahuan akan pola evolusioneratau rencana umum dari roh murni spiritual dan karenanya sampai pada standar nilai sejarah yang obyektif.
Menurut Hegel, negara memainkan peran untuk mencapai tujuan tertinggi dunia dan manusia. Hegel berpendapat bahwa roh tidak hanya mencapai tujuannya melalui industri-industri tetapi juga negara.
Menurut Hegel, Negara adalah :
·       Institusi yang pada kenyataannya merupakan inti dari kehidupan sejarah.
·       Penjelmaan tertinggi dari ide Tuhan (the divineidea) di atas bumi dan instrumen utama yang digunakan oleh yang absolut dalam mewujudkan dirinya ketika ia bergerak menuju kesempurnaan.
·       Roh di atas bumi dan secara sadar merealisasikan dirinya disana.
·       Keseluruhan organis yang terdiri dari individu-individu yang terkelompokkan ke dalam kelas-kelas, asosiasi sukarela, dan komunitas lokal.
Hegel merumuskan teori etikanya melalui kontras dialektika antara hak dan moralitas. Hak, sebagai tesis, merepresentasikan tuntutan obyektif individu dalam masyarakat. Moralitas, sebagai antitesis, merepresentasikan tugas subyektif individu dalam hubungannya dengan orang lain.
Kebebasan sejati ada dalam tindakan yang sejalan dengan roh universal ketika ia berkembang secara progresif. Manusia bertindak sejalan dengan kehendak riilnya dan bukan menurut dorongan nafsunya yang kasar hanya ketika ia berusaha mengidentifikasi dirinya dengan roh. Kebebasan tidak pernah berupa kekuasaan yang tidak terbatas untuk memilih, tetapi hanya berupa hak untuk bertindak secara rasional.
Hegel berpendapat bahwa konflik antarnegara itu sehat dan tak bisa dihindarkan. Memang harus ada perang sekali waktu karena pengungkapan atau penyingkapan yang lebih sempurna dari yang universal hanya bisa terjadi melalui perjuangan. Hegel menganggap pandangan Kant tentang perdamaian dunia sebagai ilusi semata. Bahkan jika negara-negara bersatu dalam persekutuan yang erat atau meleburkan identitas mereka dalam suatu organisasi dunia, bangunan politik yang baru jelas akan menimbulkan kecenderungan yang berlawanan dan menciptakan bahaya baru. Karena tidak ada cara untuk menghindari proses dialektika dalam jalannya sejarah dunia.








BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ide yang diperjuangkan oleh Edmund Burke adalah suatu pemikiran mengenai nilai konservatisme. Konservatif muncul sebagai reaksi atas terjadinya Revolusi Prancis pada 1789, namun banyak pendapat yang mengutarakan bahwa konservatisme telah muncul sejak reformasi dengan adanya karya-karya teolog Anglikan yang berpengaruh.
Menurut Burke, proses pembentukan negara tidak dapat dipaksakan dengan adanya revolusi secara radikal, karena akan menghancurkan negara itu sendiri. Negara terbentuk dengan cara organis, yaitu negara terbentuk dimulai dari sitem terkecil. Menurut Burke, undang-undang atau konstitusi sebuah negara memiliki keterkaitan dengan ajaran agama (gereja) agar terbentuk peraturan yang menata kehidupan masyarakat dan menolak pergerakan masyarakat secara radikal. Alasan lain adanya keterkaitan tersebut adalah pada dasarnya negara merupakan bagian dari ciptaan Tuhan.
Dalam menjalankan pemerintahan diperlukan suatu kombinasi antara monarki absolut dengan demokrasi, karena menurut Burke penting adanya partisipasi dari masyarakat secara terus menerus dan konsisten baik dari golongan minoritas maupun mayoritas, sehingga dapat menyuarakan pendapatnya kepada pemerintahan. Kombinasi antara monarki absolute dengan demokrasi diharapkan dapat menciptakan keseimbangan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang sosial dan politik.
Utilitarianisme lahir sebagai bentuk filsafat moral dan politik yang matang dibidani oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Utilitarianisme ialah idea atau fahaman dalam falsafah moral yang menekankan prinsip manfaat atau kegunaan dalam menilai sesuatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar.
Kant berpendapat bahwa negara harus dibangun di atas kebebasan setiap manusia, di atas persamaan warga, dan di atas ketergantungan individu pada dirinya sendiri. Semua hukum yang diundangkan oleh negara haruslah didasarkan atas prinsip-prinsip itu.
Hegel berpendapat bahwa roh tidak hanya mencapai tujuannya melalui industri-industri tetapi juga Negara. Hegel merumuskan teori etikanya melalui kontras dialektika antara hak dan moralitas.




[1] Muh. Erwin, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2011, hlm 180-181.
[2] H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Bandung : PT. Refika Aditama, 2010, hlm 44.

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Powered by Blogger.

TUGAS KULIAH, MAKALAH, ADMINISTRASI PUBLIK, KEBIJAKAN, MANAGEMEN, KEPEMIMPINAN, ORGANISASI DAN KEAG

Blogger templates

Blogroll