SINERGITAS KELEMBAGAAN PUBLIK DALAM MENDUKUNG TERCAPAINYA VISI ORGANISi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan
sudah semakin pesat. Hal ini juga dapat menjadi indicator bahwa pola
kehidupan sosial masyarakat sudah semakin berkembang dan masalah yang harus
diatasi juga semakin complicated. Ilmu administrasi publik yang pada
dasarnya merupakan disiplin ilmu yang memiliki tujuan to protect, to
regulate, and to service the citizen tentu saja juga ikut berkembang
sejalan dengan perubahan yang ada di masyarakat. Berbagai macam paradigma dan
konsep telah dimiliki oleh ilmu administrasi publik yang tentu saja digunakan
sesuai dengan perkembangan zaman. Paradigma-paradigma tersebut digunakan untuk
menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat, mulai dari paradigma dikotomi politik
dan administrasi, prinsip-prinsip administrasi, administrasi publik sebagai
ilmu politik, administrasi publik sebagai ilmu administrasi, admiistrasi publik
sebagai ilmu administrasi publik, administrasi publik sebagai administrasi
pembangunan, reformasi administrasi, New Public Management, hingga Good
Governance. Paradigma yang disebutkan terakhir akan banyak dikupas setelah
ini, karena berkaitan dengan konsep electronic government yang saat
ini sedang marak diisukan untuk dapat digunakan di berbagai sistem
pemerintahan, baik pusat maupun daerah, sebagai sarana untuk pemberdayaan (empowering)
masyarakat dalam sistem demokrasi di Indonesia. Dengan ini, masyarakat
diharapkan lebih mendapatkan pelayanan publik yang memuaskan dan memiliki andil
untuk menentukan kebijakan yang akan diambil pemerintah melalui transparansi
dan akuntabilitas publik
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
sinergitas peran lembaga public dalam rangka mewujudkan visi organisasi ?
2. Apa
kendala yang sering di hadapi ?
3. Bagaimana
membangun sinergitas antar lembaga public ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk
mengetahui bagaimana sinergitas peran lembaga public dalam rangka mewujudkan
visi organisasi
2. Untuk
mengetahui kendala yang sering di hadapi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian sinergitas kelembagaan
Kata
Sinergy, Sinergisme, Sinergisitas, seringkali diucapkan orang
tanpa kadangkala tidak tahu apa artinya. Di kamus bahasa Indonesia-Inggris
edisi ketiga oleh John M. Echols dan Hassan Shadily, penerbit PT Gramedia
Jakartapun tidak ditemui apa terjemahan kata SINERGY. Memang kata ini
bukan asli kata Indonesia. Tapi bila membaca di buku Mencari Bentuk Otonomi
Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, DR.
J. Kaloh, hal 159. “Stephen R. Covey dalam bukunya Principles Centered
Leadership (1993) mengatakan bahwa SINERGI yang dikerjakan bersama lebih baik
hasilnyadaripada dikerjakan sendiri-sendiri, selain itu gabungan beberapa unsur
akan menghasilkan suatu produk yang lebih unggul. SINERGI mengandung
arti kombinasi unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik
dan lebih besar. Gubernur Sulut Drs. SH Sarundajang mengatakan di
dalam Kata Pengantar Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Provinsi Sulawesi Utara, tahun 2005-2010: “Kami berharap dukungan,
kerjasama dan kerja keras-cerdas dari semua pihak tersebut terus terbina dan
berlangsung agar makin memperkuat SINERGISME dan jejaring aliansi
strategis yang sangat dibutuhkan untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat Indonesia di Sulawesi Utara,…” dan juga buku yang sama pada hal 357 “SINERGITAS pelaksanaan
pembangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dibenahi termasuk SINERGITAS antara Pemerintah Daerah
Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maupun SINERGITAS antara
satuan kerja….Harapan utama dari terciptanya SINERGITAS pembangunan ini
agar kesejahteraan masjarakat dapat ditingkatkan. Oleh karena itu perlu
pemahaman arti kata SINERGY yang benar supaya seluruh komponen
Masyarakat dan Pemerintah bisa saling berSINERGY demi tercapainya
kesejahteraan masjarakat
2.2 Pengertian Visi Organisasi
Visi adalah suatu
pandangan jauh tentang organisasi, tujuan - tujuan perusahaan dan apa yang
harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut pada masa yang akan datang. Visi
itu tidak dapat dituliskan secara lebih jelas menerangkan detail gambaran
sistem yang ditujunya, dikarenakan perubahan ilmu serta situasi yang sulit
diprediksi selama masa yang panjang tersebut. Beberapa persyaratan yang
hendaknya dipenuhi oleh suatu pernyataan visi:
·
Berorientasi ke
depan
·
Tidak dibuat
berdasarkan kondisi saat ini
·
Mengekspresikan
kreatifitas
·
Berdasar pada
prinsip nilai yang mengandung penghargaan bagi masyarakat
2.3 Fenomena sinergitas kelembagaan
publik dalam mendukung tujuan organisasi (antara pemerintah pusat dan daerah)
2.3.1
Keragaman disharmoni Hubungan Pusat
dan Daerah.
Secara
faktual ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah propinsi dengan
kabupaten/kota sudah dirasakan sejak diberlakukannya UU No.22 tahun 1999.
Semangat desentralisasi yang berlebihan dan sering disalahartikan bagi sebagian
besar pemerintah lokal, nampaknya telah menghasilkan sebuah relasi yang
disharmoni dengan pemerintah diatasnya, baik terhadap pemerintah propinsi
maupun pemerintah pusat. Kebebasan dan kewenangan yang dimiliki pemerintah
lokal untuk menyusun berbagai peraturan daerah yang hanya mendasarkan atas
kebutuhan dan kepentingan lokal semata, tanpa memper timbangkan kepentingan
regional dan nasional akhirnya banyak menghasilkan produk perda yang cacat
hukum dan dipihak lain perilaku pemerintah lokal yang cenderung arogan menjadi
pemicu melebarnya jurang hubungan pemerintah pusat dan lokal itu sendiri.
Sebaliknya, sumber kewenangan pemerintah propinsi yang secara riel telah
berkurang, nampaknya masih dipersepsi sama, dimana pemerintah propinsi masih merasa
memiliki kekuasaan yang berlebih dibanding pemerintah kabupaten /kota sehingga
sewaktu menyusun dan membuat peraturan acapkali berada diluar yuridiksinya.
Dipihak lain
disharmonisan relasi antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota
juga dipicu oleh persepsi dan pemaknaan otoda yang beragam pada tingkat
pemerintahan dan masyarakat. Bagi kebanyakan pemerintah lokal melihat bahwa
otonomi daerah sama atau berdekatan dengan automoney, sehingga membawa
konsekuensi terhadap pencarian, peningkatan dan penciptaan penerimaan
daerah sebanyak mungkin tanpa mempertimbang kan kepentingan jangka
panjang bagi masyarakat. Sayangnya, pemaknaan otonomi yang diamini sebagian
pemerintah lokal (kabupaten/kota) juga menjadi virus dan menyebar di lingkaran
pemerintah propinsi, sehingga konflik perebutan lahan obyek penerimaan daerah
tidak terhindarkan antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Paling tidak fenomena peningkatan eskalasi terhadap eksplotasi dan eksplorasi
sumberdaya alam minyak, penambangan batubara, penebangan dan pengundulan hutan
telah mengalami peningkatan sangat drastis dan dramatis. Tidaklah salah
jika keberdaan UU otonomi daerah akhirnya telah dijadikan format justifikasi
untuk mengeksploitasi dan mengekstrasi sumber daya local secara besar-besaran,
dan kenyataannya kegiatan ekplorasi tersebut tidak memberi kontribusi ekonomis
secara nyata terhadap masyarakat setempat dan hanya dinikmati oleh segelintir
pejabat elit local. Seiring dengan banyaknya
mispersepsi terhadap pemaknaan otonomi daerah yang lekat dengan automoney,
akhirnya telah menuai beragam konflik yang bersifat vertical maupun horizontal
(antara pemerintah pusat dan propinsi dengan kabupaten maupun kabupaten/kota
dengan kabupaten/kota). Jika demikian, maka otonomi daerah telah menjadi counterproductive
terhadap perluasan dan peningkatan public service maupun proses
demokratisasi itu sendiri
Desentralisasi
mestinya dianggap sebagai proses, meskipun cara hidup dan keadaan pikiran
berdasarkan pada prinsip kebebasan, penghargaan dan partisipasi.
Desentralisasi mengakui dan mempercayai adanya kebutuhaan untuk mendekati
kesenjangan dan perbedaan antara semua tingkat pemerintahan melalui
interaksi dan berbagai kewenangan. Artinya bahwa desentralisasi memuat jalinan
tanggungjawab dari pusat ke kabupaten. Salah satu bentuk tugas dan
tanggungjawab pemerintah adalah menyusun dokumen perencanaan pada tingkat pusat
hingga tingkat local secara series. Dokumen-dokumen yang saling terkait antara
kepentingan pusat, propinsi dan kabupaten/kota adalah dokumen Perencanaan RPJP,
RPJMD dan RKPD.
Meskipun
dokumen perencanaan harus disediakan di setiap tingkatan pemerintahan dan
disusun secara series dan integrative, namun acapkali materi dokumen
perencanaan di tingkat pusat, regional dan local tidak integrative dan sinkron.
Sangat dimungkinkan ketidaksinkronan dokumen perencanaan antara propinsi dan
kabupaten lebih dikarenakan adanya disharmonisai hubungan yang terjadi,
sehingga koordinasi dan komunikasi antar strata pemerintahan tersebut kurang
maksimal. Melihat realitas tersebut, acapkali dokumen perencanaan antara
pemerintah propinsi dengan kabupaten seakan merupakan dua hal yang terpisah.
Khususnya memahami penyusunan RPJMD Kabupaten/kota sangat jarang sekali
mengacu pada RPJMD Propinsi. Situasi ini terjadi disebabkan oleh karena RPJMD
lebih merupakan kebutuhan bupati/walikota daripada merefleksi kebutuhan dan
kepentingan masyarakat atau kepentingan diatasnya. Akibatnya isi dokumen RPJMD
lebih merupakan dokumen pemenuhan janji kepala daerah kepada konstituen dalam
pemilu daripada sebagai arah dan pedoman perencanaan pembangunan daerah yang
merefleksi kebutuhan masyarakat banyak. Disharmoni kewenangan dalam materi
penyusunan dokumen perencanaan terutama RPJMD tentu membawa konsekuensi terhadap
bentuk-bentuk materi dokumen tahunan yakni RKPD. Disharmoni kewenangan
penyusunan dokumen RPJMD semakin terlihat ketika RPJMD propinsi yang lebih
merefleksi dan mengakomodir kepentingan gubernur untuk memenuhi janji
politiknya bukan merupakan satu partai dengan para bupati/walikota di
masing-masing pemerintahan local.
Disamping
fenomena disharmoni diatas, terlihat juga bahwa ditingkat kelembagaan acapkali
terjadi hubungan yang kurang baik antara pemerintah propinsi dan pemerintah
kabupaten disaat pihak propinsi akan melakukan koordinasi yang diakibatkan oleh
adanya variasi nomenklatur kelembagaan yang berbeda baik antara propinsi dengan
kabupaten atau antar kabupaten. Perbedaan nomenklatur ini berimplikasi pada
disharmoni koordinasi dan pelaksanaan tugas yang bersifat lintas kabupaten.
Sebagai misal di tingkat propinsi memiliki dinas yang mengurusi persoalan
lingkungan hidup (Dinas LH), ketika propinsi meminta bantuan untuk implementasi
urusan lingungan hidup di tingkat kabupaten sering terjadi hambatan, sebab
di tingkat kabupaten tidak ada dinas tersebut, hanya ada bagian yang tentunya
kewenangannya terbatas.
2.3.2
Konstruksi Sinergi Hubungan Antar
Pemerintahan
Meskipun
masih banyak persoalan yang tersisa dalam UU No 32 tahun 2004, namun jika kita
lebih bijaksana, maka banyak aspek yang sebenarnya dapat diimplementasikan
secara bersama antar tingkat pemerintahan sebagai wujud sinergitas hubungan
antar tingkatan pemerintah dalam rangka mewujudkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dalam upaya penciptaan efisiensi dan
efektivitas pemerintahan daerah, maka relasi hubungan antara pemerintah
propinsi dan pemerintah kabupaten /kota harus mampu mengejawantahkan jaminan
bentuk relasi yang adil dan saling menguntungkan. Relasi hubungan
pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten dalam konstruk UU No 32 tahun 2004
dapat menyangkut 4 bidang, utama, yakni : 1) Hubungan kewenangan antara
propinsi dan kabupaten/kota, 2) Hubungan Keuangan antara Propinsi dan
Kabupaten/Kota, 3) Hubungan Pelayanan umum, 4) Hubungan Pemanfaatan Sumberdaya
Alam dan Sumberdaya lainnya.
2.3.3 Sinergi
dibidang Kewenangan
Relasi
kewenangan antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten sebenarnya dapat
diketemukan dalam pasal 10 hingga 14. Sumber kewenangan untuk Urusan
wajib bagi propinsi dan kabupaten/kota yang dinilai kembar atau mirip memang
melahirkan dua pandangan yang berbeda. Disatu sisi melihat dengan kekebaran
urusan wajib, akan memudahkan koordinasi , komunikasi dan sinergisitas, namun
dipihak lain melihat dan memandang dengan kekembaran kewenangan yang ada,
justru akan mengurangi atau meniadakan koordinasi. Dua pandangan yang saling
berbenturan tersebut, nampaknya cenderung mewakili tingkatan pemerintahan
daerah. Bagi propinsi, cenderung mewakili pandangan pertama sedangkan bagi
pemerintah kabupaten/kota berada pada pandangan yang kedua. (Lihat tabel
dibawah ini)
Pasal
13
(Urusan Wajib Pemerintah Daerah
Propinsi)
|
Pasal
14
(Urusan Wajib Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota)
|
Ø Perencanaan
dan Pengendalian Pembangunan;
|
Ø Perencanaan
dan Pengendalian Pembangunan;
|
Ø Perencanaan,
pemanfaatan dan Pengawasan tata ruang;
|
Ø Perencanaan,
pemanfaatan dan Pengawasan tata ruang;
|
Ø Penyelenggaraan
Ketertiban umum dan Ketentraman Masyarakat;
|
Ø Penyelenggaraan
Ketertiban umum dan Ketentraman Masya rakat;
|
Ø Penyediaan
sarana dan prasarana umum;
|
Ø Penyediaan
sarana dan prasarana umum;
|
Ø Penanganan
bidang Kesehatan;
|
Ø Penanganan
bidang Kesehatan;
|
Ø Penyelenggaraan
pendidikan dan Alokasi Sumber daya manusia potencial,
|
Ø Penyelenggaraan
pendidikan;
|
Ø Penanggulangan
masalah sosial lintas kabupaten/kota
|
Ø Penanggulangan
masalah sosial ;
|
Ø Pelayanan
bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/ kota
|
Ø Pelayanan
bidang ketenagakerjaan;
|
Ø Fasilitasi
pengembangan koperasi, Usaha Kecil dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota
|
Ø Fasilitasi
pengembangan koperasi, Usaha Kecil dan menengah
|
Ø Pengendalian
lingkungan hidup
|
Ø Pengendalian
lingkungan hidup;
|
Ø Pelayanan
pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
|
Ø Pelayanan
pertanahan;
|
Ø Pelayanan
kependudukan dan Catatan Sipil
|
Ø Pelayanan
kependudukan dan Catatan Sipil;
|
Ø Pelayanan
administrasi umum pemerintahan
|
Ø Pelayanan
administrasi umum pemerintahan;
|
Ø Pelayanan
administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten
|
Ø Pelayanan
administrasi penanaman modal;
|
Ø Penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota
|
Ø Penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya;
|
Ø Urusan
wajib lanilla yang diamantkan oleh peraturan perundang-undangan
|
Ø Urusan
wajib lanilla yang diamantkan oleh peraturan perundang-undangan
|
Jika kita tinjau dari perspektif teoritik dengan menggunakan
kacamata struktural fungsional, dimana setiap struktur akan diikuti oleh
fungsi, dan setiap hirarkhi struktur akan memberi fungsi yang berbeda-beda, maka
kekembaran urusan wajib antar tingkatan pemerintah daerah secara otomatis akan
melahirkan overlaping, konflik kewenangan, tumpang tindih serta
pemborosan. Untuk memecah kebuntuan tersebut, maka cara yang cerdas dan
strategis perlu dilakukan terutama untuk membangun sinergi hubungan kewenangan
antara propinsi dan kebupaten/kota secara lebih harmonis, yakni :
a. perlu dilakukan penataan kembali
atau refungsionalisasi terhadap sumber kewenangan dan fungsi
dimasing-masing urusan wajib antara pemerintah propinsi dan pemerintah
kabupaten/kota,
b. perlu disusun diskripsi atau
dijabarkankannya tupoksi kewenangan masing-masing urusan wajib antara propinsi
dan kabupaten/kota secara lebih jelas, rinci dan lugas.
c. Pemerintah propinsi harus memiliki
inisiatif untuk mendorong terselengga ranya rapat koordinasi antar tingkat
pemerintahan secara lebih intensif, terprogram, terarah dan memiliki target
yang jelas.
2.3.4 Sinergi
dibidang Keuangan
Relasi
dibidang keuangan antara pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat
dalam pasal 15 terutama ayat 2, dimana hubungan keuangan dapat meliputi: a)
bagi hasil pajak dan non pajak, b) pendanaan urusan pemerintah yang menjadi
tanggungjawab bersama, c) pembiayaan bersama atas kerjasama antar
daerah, d) pinjaman dan atau hibah antar pemerintah daerah.
Mencermati hubungan keuangan antara propinsi dan pemerintah kabupaten/kota
acapkali terjebak pada suatu pandangan bahwa hubungan keuangan lebih diarahkan
pada upaya-upaya terencana, strategis dan taktis, namun tidak humanis
untuk mengakumulasi penerimaan daerah sebagai refleksi atas lestarinya otonomi
dimasa depan. Meskipun pandangan tersebut secara logika dan rasional banyak
diamini oleh elit pemerintahan, namun dalam jangka panjang sebenarnya pandangan
tersebut menjadi perangkap dan kurang menguntungkan. Bagaimanapun juga,
hubungan keuangan yang sebenarnya lebih esensial harus mampu menjawab
persoalan untuk jangka panjang, yakni bagaimana dan dengan apa daerah mampu
membiayai urusan pemerintahan secara lebih efisien dan efektif ?.
Jika
kita cermat dan jeli, dimana pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota
memiliki urusan wajib yang sama, maka sebenarnya upaya kerjasama pembiayaan
antar daerah dalam membiayai urusan tersebut dapat dilakukan dan dimaksimalkan.
Jika demikian halnya, maka pelestarian dan kelangsungan otonomi daerah
sebenarnya terletak pada upaya terjalinnya hubungan antar tingkat pemerintahan
dalam pembiayan urusan bersama sehingga sumber pengeluaran masing-masing daerah
dapat lebih diefisiensikan dan diefektifkan.
Untuk
menguji seberapa efisien dan efektivitas pengeluaran daerah dalam pemerintahan
daerah saat ini, sebenarnya dapat dikenali dari fenomena hasil
pembangunan saat ini, dengan mengajukan beberapa pertanyaan sederhana dan
mendasar seperti kasus pembiayaan penanganan kemiskinan. Apakah anggaran untuk
penanganan kemiskinan yang dikeluarkan oleh pemerintah propinsi dan pemerintah
kabupaten/kota yang setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan terus menerus
telah mampu menurunkan angka kemiskinan dan berapa banyak masyarakat miskin
yang berubah menjadi sejahtera ?. Ataukah seberapa besar/banyak anggaran yang
harus disediakan pemerintah untuk menangani 1 keluarga miskin sehingga mampu
berubah menjadi keluarga yang sejahtera dan berapa waktu yang harus
dibutuhkan ?.
Melihat kenyataan tersebut, maka peran apa yang sehrusnya dimainkan oleh
pemerintah propinsi untuk mensinergikan hubungan kewenangan keuangan dengan
pemerintah kabupaten/kota. Ada beberapa hal sebenarnya dapat dilakukan
propinsi, yakni :
1. Pemerintah propinsi harus mampu
mengubah mindset para elit kabupaten/ kota bahwasannya kerjasama
pembiayaan antar pemerintah daerah menjadi sesuatu yang penting terutama
bertujuan untuk meringankan beban pembiayaan pembangunan antar pemerintah
daerah,
2. Pemerintah propinsi harus mampu
dijadikan sumber informasi dan rujukan bagi pemerintah kabupaten/kota terutama
dalam bidang pengembangan pengelolaan keuangan secara efisien dan efektif.
3. Pemerintah propinsi harus mampu
menjadi inisiator, motivator dan fasilitator terselenggaranya kerjasama
pembiayaan antar pemerintah serta menyediakan beragam model-model kerjasama
yang dapat diwujudkan dalam beragam urusan pemerintahan
2.3.5 Sinergi
dibidang Pelayanan Umum dan SDA
Relasi
dibidang pelayanan umum antara pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dapat
dilihat dalam pasal 16 ayat 1 yang menegaskan bahwa hubungan dibidang pelayanan
menyangkut: a) kewenangan, tanggung jawab dan penentuan SPM, b)
pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; c)
fasilitasi pelaksanaan kerjasama antar pemerintah daerah dalam penyelenggaran
pelayaan umum. Sedangkan dalam ayat 2 ditegaskan bahwa : a) pelaksanaan bidang
pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah, b) kerjasama antarpemerintah
daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum dan c) pengelolaan perizinan
bersama bidang pelayanan umum.
Jika kita cermati nampaknya ruang
lingkup relasi pelayanan umum hampir mirip dengan relasi dibidang Sumber daya
alam. Menurut pasal 17 ayat 1, ditegaskan bahwa hubungan pemnfaatan SDA dan
Sumber daya lainnya meliputi : a) kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan,
pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian; b) bagi hasil atas
pemanfaatan sumberdaya alam; c) penyerasian lingkungan dan tata ruang serta
rehabilitsi lahan. Kemudian terkait dengan ayat 2, ditegaskan bahwa: a)
pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumberdaya lainnya yang menjadi
kewenangan daerah; b) kerjasama bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam
dan sumberdaya lainnya antarapemerintah daerah, c) pengelolaan perijinan
bersama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya.
Secara sepintas dari dua relasi atau
hubungan dibidang pelayanan umum maupun SDA sangatlah jelas dan dapat ditarik
suatu benang merahnya, dimana pemaknaan
otonomi daerah sebenarnya lebih diletakkan pada jangkauan dan keleluasan
relasi atau hubungan yang dapat dibangun oleh pemerintah propinsi dan
pemerintah kabupaten/kota, sehingga
bangunan relasi tersebut mampu menjadi arah bagi terwujudnya penyelenggaraan
pemerintahan daerah secara efisien dan efektif.
2.4 Pengembangan
Jaringan Kerjasama (Networking) Antar Daerah
Mencermati
konstruksi hubungan pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten /kota
mendasarkan UU No 32 tahun 2004 tersebut, yang sebenarnya dapat menyentuh pada
4 bidang, yakni hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan publik dan pemanfaatan
sumberdaya alam yang tertuang dalam pasal 14 – 17, maka hal tersebut harus
dijadikan entypoint untuk peningkatan, perluasan dan intensitas relasi
yang sinergis dan harmonis antara pemerintah propinsi dan pemerintah
kabupaten/kota. Akses terbangunnya netwoking antar pemerintah propinsi
dengan pemerintah kabupaten/kota secara yuridis sebenarnya telah tersedia,
terutama menyangkut pasal 195 ayat 1 yakni dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasma dengan daerah lain yang
didasarkan pada pertimbangan efisiensi, efektifitas pelayanan publik, sinergi
dan saling menguntungkan, ayat 2 menjelaskan bahwa kerjasama yang dimaksud
dapat diwujudkn dalam bentuk badan kerjasama antar daerah. Kemudian pada pasal
196, terutama ayat 2 ditegaskan bahwa untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib
mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk
kepentingan masyarakat.
Jika kita mencoba menarik benang
merah hubungan antara pasal 14-17 mengenai hubungan kewenangan antara propinsi
dan pemerintah kabupaten /kota dengan pasal 195-196 mengenai kerjasama antar
daerah, maka sangatlah jelas bahwa otonomi daerah sebenarnya lebih mengarah
pada penciptaan, perluasan dan peningkatan networking antar daerah yang
kesemuanya bermuara untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Seiring dengan upaya perluasan, pengembangan dan
penciptaan networking antar daerah, ada dua peran utama yang dapat
dilakukan oleh pemerintah propinsi saat ini , yakni :
1. Pemerintah propinsi harus mampu
menjadi inisator dalam membangun kesadaran bersama mengenai mutual relationship
yang berdimensi keadilan dan saling menguntungkan dengan pemerintahan lokal dan
atau dengan pihak swasta;
2. Pemerintah Propinsi harus mampu
menjadi fasilitator dan motivator terbentuk dan berfungsinya badan kerjasama
antar daerah sebagai wadah interaksi, komunikasi dan koordinasi bagi akses
terbangunnya kerjasama antar daerah diberbagai bidang pelayanan publik dan
bidang lainnya. Disamping itu secara lebih teknis, badan kerjasama antar daerah
dapat dijadikan : a) Sebagai wadah koordinatif antar unit/lembaga/badan lintas
daerah dalam merumuskan berbagai kebijakan yang terkait dengan perwujudan
pengelolaan bidang pelayanan publik dan bidang lainnya. b) Sebagai wadah
koordinatif untuk merumuskan pembagian peran dan kegiatan antar
unit/lembaga/badan lintar antar daerah. c) Sebagai wadah koordinatif untuk
merencanakan, melaksanakan, pengelolaan dan evaluasi dalam pengem bangan
pengelolaan pelayanan publik dan bidang lainnya.
c. Untuk menujang terbangunnya dan perluasan networking
dan mutual relatioship dengan tingkat pemerintahan lokal atau pihak
swasta, maka pemeranan lembaga (role of institution) sepertii biro
kerjasama dan humas menjadi sangat penting.
2.5
KONSEP SINERGI
Adanya
interaksi antar ketiga stakeholders selain itu juga diperlukan adanya sinergi
antar ketiga pemangku kepentingan tersebut. Najiyati dan Rahmat (2011),
mengartikan sinergi sebagai kombinasi atau paduan unsur atau bagian yang dapat
menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar. Jadi sinergi dapat dipahami
sebagai operasi gabungan atau perpaduan unsur untuk menghasilkan output yang
lebih baik. Sinergitas dapat terbangun melalui dua cara yaitu
a.
Komunikasi
Sofyandi dan Garniwa (2007),
pengertian komunikasi dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu:
1.
Pengertian komunikasi yang berorientasi pada sumber
menyatakan bahwa, komunikasi adalah kegiatan dengan mana seseorang (sumber)
secara sungguh-sungguh memindahkan stimuli guna mendapatkan tanggapan.
2.
Pengertian komunikasi yang berorientasi pada penerima
memandang bahwa, komunikasi sebagai
semua kegiatan di mana seseorang (penerima) menanggapi stimulus atau rangsangan
b.
Koordinasi
Disamping adanya komunikasi dalam
menciptakan sinergitas juga memerlukan koordinasi. Komunikasi tidak dapat
berdiri sendiri tanpa adanya koordinasi seperti yang dinyatakan oleh Hasan bahwasannya dalam komunikasi dibutuhkan koordinasi (2005,
h.18). Silalahi (2011, h.217),
“koordinasi adalah integrasi dari kegiatan-kegiatan individual dan unit-unit ke
dalam satu usaha bersama yaitu bekerja kearah tujuan bersama”.Moekijat (1994,
h.39) menyebutkan ada 9 (sembilan) syarat untuk mewujudkan koordinasi yang
efektif, yaitu
Ø Hubungan langsung Bahwa koordinasi
dapat lebih mudah dicapai melalui hubungan pribadi langsung.
Ø Kesempatan awal “Koordinasi dapat
dicapai lebih mudah dalam tingkat-tingkat awal
perencanaan dan pembuatan kebijaksanaan.”
Ø Kontinuitas “Koordinasi merupakan
suatu proses yang kontinu dan harus berlangsung pada semua waktu mulai dari
tahap perencanaan.”
Ø Dinamisme “Koordinasi harus secara
terus-menerus diubah mengingat perubahan lingkungan baik intern maupun
ekstern.”
Ø Tujuan yang jelas “Tujuan yang jelas
itu penting untuk memperoleh koordinasi yang efektif.”
Ø Organisasi yang sederhana”Struktur
organisasi yang sederhana memudahkan koordinasi yang efektif.”
Ø Perumusan wewenang dan tanggung
jawab yang jelas: Wewenang yang jelas tidak hanya mengurangi pertentangan di
antara pegawai-pegawai yang berlainan, tetapi juga membantu mereka dalam pekerjaan
dengan kesatuan tujuan.
Ø Komunikasi yang efektif: Komunikasi
yang efektif merupakan salah satu
persyaratan untuk koordinasi yang baik
Ø Kepemimpinan supervisi yang efektif:
Kepemimpinan yang efektif menjamin koordinasi kegiatan orang-orang, baik pada
tingkat perencanaan maupun pada tingkat implementor
2.6
GOOD GOVERNANCE
Good Governance
di beberapa negara sudah meluas mulai tahun 1980, dan di Indonesia mulai
dikenal secara lebih dalam tahun 1990 sebagai wacana penting yang muncul dalam
berbagai pembahasan, diskusi, penelitian, dan seminar, baik di lingkungan
pemerintah, dunia, usaha swasta, dan
masyarakat termasuk di lingkungan para akademisi (Sedarmayanti, 2009, h.270).
Sedarmayanti (2003, h.7-8) mengajukan karakteristik good governance, sebagai berikut:
A.
Participation
Setiap warga
negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun
secara intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
B.
Rule of law
Kerangka
hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak
azasi manusia.
C.
Transparancy
Transparansi dibangun atas dasar keabsahan arus informasi.
Proses-proses, lembaga dan informasi yang secara langsung dapat diterima oleh
mereka yang membutuhkan.
D.
Responsive
Lembaga-lembaga
dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.
E.
Consensus Orientation
Good
governance menjadi perantara kepentingan
yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas,
baik dalam kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
F.
Equity
Semua warga
negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan
atau menjaga kesejahteraan mereka.
G.
Effectiveness and effeciency
Proses-proses
dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan
menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
H.
Accountability
Para pembuat
keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society)
bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung
pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut
untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
I.
Strategic vision
Para pemimpin dan publik harus
mempunyai perspektif good governancedan
pengembangan yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan
untuk pembangunan macam ini.
BAB III
KESIMPULAN
Adanya
interaksi antar ketiga stakeholders selain itu juga diperlukan adanya sinergi
antar ketiga pemangku kepentingan tersebut. Najiyati dan Rahmat (2011),
mengartikan sinergi sebagai kombinasi atau paduan unsur atau bagian yang dapat
menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar. Jadi sinergi dapat dipahami
sebagai operasi gabungan atau perpaduan unsur untuk menghasilkan output yang
lebih baik. Sinergitas dapat terbangun melalui dua cara yaitu Komunikasi dan Koordinasi Kepemimpinan
supervisi yang efektif: Kepemimpinan yang efektif menjamin koordinasi kegiatan
orang-orang, baik pada tingkat perencanaan maupun pada tingkat implementor.
Dalam hal
ini sinergitas dapat terwujud untuk mendukung visi organisasi, factor yang
paling berpengaruh adalah kecenderungan egosentris antar lembaga public perlu
di hilangkan guna mencapai visi organisasi
DAFTAR PUSTAKA
Azizi, Qodry A. 2007. Change Management Dalam Reformasi Birokrasi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Bellone, Carl J. 1980. Organization Theory And The New Public
Administration, Allyn And Bacon. Inc,Boston.
Evans, R. James. 1994. Creative
Thinking, Terjemahan Bosco Carvallo, Berpikir
Kreatif Dalam Pengambilan Keputusan Dan Manajemen,Bumi Aksara, Jakarta.
Frederickson, H. George. 1984. New Public Administration, The University Alabama Press.
Hasibuan s.p. malayu. 1995. Manajemen dasar, pengertian dan masalah, PT.TOKO
Agung, Jakarta
Makmur. 2009. Teori Manajemen Stratejik Dalam Pemerintahan Dan Pembangunan, PT.
Refika Aditama, Jakarta.
Ndraha Taliziduhu.2003.Kybernology
(Ilmu Pemerintahan Baru), PT. Rineka Cipta, Jakarta.
r-d-w-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70084-Umum-Membangun-Sinergitas-Antara
Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.html diakses tanggal
24/03/2015 pukul 11:42
0 komentar:
Post a Comment