PRIVATISASI PERUSAHAAN NEGARA (BUMN) DI INDONESIA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Privatisasi
Terdapat
banyak defenisi yang diberikan oleh para pakar berkenaan dengan istilah
privatisasi. Beberapa pakar bahkan mendefenisikan privatisasi dalam arti luas .
Privatisasi dikatakan sebagai upaya
meningkatkan kinerja BUMN dan mengurangi beban pemerintah, sering disandingkan
dengan korporasi. Berikut ini beberapa definisi privatisasi menurut
Undang-undang dan pendapat para ahli , yakni sebagai berikut :
1. Menurut Boston dalam Hamid dan Anto
(2000:64), korpotisasi merupakan proses dimana aktivitas perdagangan atau
komersial suatu departemen pemerintah dipisahkan dari kegiatan non-komersial,
dan ditempatkan pada organisasi yang bertujuan mencari keuntungan atau menjadi
bagian fungsi komersial BUMN. Privatisasi atau swastanisasi adalah melepaskan
sebagian atau seluruh saham kepada pihak swasta , baik itu secara langsung
maupun melalui pasar modal (go public).
2. Sarvas (1980:3) mengatakan, privatisasi
adalah tindakan untuk mengurangi peran sektor public atau meningkatkan peran
sektor swasta dalam suatu aktivitas atau dalam suatu kepemilikan aset-aset
organisasi.[1]
3. Abeng (2001) mengartikan privatisasi
sebagai penyerahan control efektif dari sebuah perusahaan, dari kepemilikan
negara ke pihak swasta atau public secara luas.
4. Menurut Dunleavy (1980-an) Privatisasi
diartikan sebagai pemindahan permanen aktivasi produksi barang dan jasa yang
dilakukan oleh perusahaan negara ke perusahaan swasta atau dalam bentuk
organisasi non public, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM).[2]
5. Menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”), Privatisasi adalah penjualan
saham Perusahaan Perseroan yang merupakan BUMN berbentuk perseroan terbatas
dengan saham paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki oleh Negara
Republik Indonesia (“Persero”), baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak
lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar
manfaat bagi Negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh
masyarakat[3].
Jadi dapat disimpulkan bahwa privatisasi adalah adalah
penjualan sebagian atau semua saham sebuah perusahaan milik pemerintah
kepada publik, baik melalui penjualan langsung ke perusahaan swasta nasional
dan asing maupun melalui bursa efek.
2.2 Perkembangan Masalah
Privatisasi di Indonesia
2.2.1 Awal
Kemunculan Privatisasi di Indonesia
Jika dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing secara tegas menyatakan bahwa hanya negara yang berhak penuh mengelola
sektor-sektor strategis seperti tertera dalam pasal 6, maka pada UU No.6 Tahun
1968 sudah memperbolehkan modal asing masuk dalam sektor-sektor yang tertuang
dalam Pasal 6 UU No.1 Tahun 1967 dengan membedakan label “modal dalam negeri”
dan “modal asing” dari sisi kepemilikan (persentase modal/saham). Jadi, sudah
terjadi perubahan kepemilikan perusahaan negara yang strategis (diluar
pasal 2 Undang-undang No. 1 tahun 1967) yang awalnya harus berasal dari
modal dalam negeri yang terdiri dari modal negara dan modal masyarakat namun
diperbolehkan pula modal dari luar negeri.
Pada prinsipnya orang asing hanya boleh menguasai sektor-sektor
swasta non-strategis dan penting. Sedangkan untuk sektor strategis, pemerintah
memperbolehkan modal asing menguasai 49% pada awal 1968 dan dikurangi hingga
25% pada tahun 1974. Hal ini didasari oleh masih buruknya perekonomian dan
masyarakat Indonesia pada tahun 1968 sehingga diperlukan suntikan dana yang
besar bagi perekonomian nasional, dan solusinya adalah mengundang
orang-orang asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan modal tersebut
dimanfaatkan dengan memberikan kepada mereka ketentuan-ketentuan dan kepastian
atas dasar mana mereka dapat bekerja secara produktip dan bermanfaat bagi
seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan alasan itu, maka asing diperbolehkan untuk memiliki
perusahaan strategis negara yang “menguasai hajat hidup orang banyak“.
Inilah cikal bakal privatisasi di bumi Indonesia yang tujuan awalnya “mulia” yakni membangkitkan ekonomi negara
ditengah minimnya modal dalam negeri. Disisi lain, privatisasi kepemilikan
perusahaan negara kepada rakyatnya (bukan kepada saing)
secara tidak langsung memang merupakan implementasi dari ekonomi
kekeluargaan (koperasi). Jadi sejarah privatisasi pertama kali di Indonesia
adalah ketika diterbitnya Undang-Undang No.6 Tahun 1968 pada tanggal 3
Juli 1968.
Pada pasal 3
Undang-Undang No.6 Tahun 1968 disebutkan bahwa:
- Perusahaan
nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal
dalam negeri yang ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan/atau,
swasta nasional Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada
tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%.
- Perusahaan
asing adalah perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam ayat 1 pasal
ini.
- Jika
usaha yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini berbentuk perseroan terbatas
masa sekurang-kurangnya persentase tersebut dalam ayat 1 dari jumlah saham
harus atas nama.
Namun ada hal yang menarik dalam UU 6/1968 khususnya pasal 3 ayat 1
yakni “Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51%
daripada modal dalam negeri yang ditanam
didalammnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada
tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%.” Jadi, dalam mengatasi
krisis ekonomi pada 1965-1967, pemerintah memperbolehkan perusahaan Nasional
dimiliki oleh modal asing dengan rincian sebagai berikut :
- Dimiliki
secara penuh oleh Negara
- Dimiliki
oleh Negara dan/atau swasta nasional, atau
- Gabungan
antara Negara dan/atau swasta nasional dengan swasta asing, dengan syarat
sekurang-kurangnya 51% dari modalnya dimiliki oleh Negara dan/atau swasta
nasional (pada saat diundangkan) .
Persentase modal dalam negeri sebesar 51% ini sudah dianggap cukup
mengingat kesanggupan dari swasta nasional. Dengan perbaikan ekonomi, maka
secara bertahap persentase pemilikan modal asing pada “perusahaan yang
menguasai hajat hidup orang banyak secara bertahap akan dikurang” dari 49% pada
tahun 1968 menjadi 25% pada tanggal 1 Januari 1974.
2.2.2 Dasar Hukum, Tujuan,
dan Metode Privatisasi
Pada Keppres
No. 122 Tahun 2001, yang intinya menyatakan antara lain bahwa privatisasi
adalah pengalihan atau penyerahan sebagian kepemilikan dan pengendalian atas
suatu BUMN kepada swasta antara lain melalui cara penawaran umum, penjualan
saham secara langsung kepada mitra strategis, penjualan saham perusahaan kepada
karyawan, dan atau cara-cara lain yang dipandang tepat. Mekanisme peralihan
dari pemerintah kepada swasta, berakibat pada menepisnya penafsiran berganda
atau menyimpang, baik secara kepemilikan asset atau modalnya maupun mekanisme
perlaihan tersebut dalam rangka mencipatakan keunggulan kompetitif (competitive advantage) BUMN terhadap
pasar dunia (global).
Hal tersebut
juga diperkuat dengan penjelasan lebih jauh menurut Maste plan BUMN (2002-2006). Yaitu berdasarkan mekanisme/metode
yang digunakan dalam penyelenggaraan privatisasi yang mengandung makna sebagai
berikut:
1. Perubahan peranan pemerintah dari peran
sebagai pemilik dan pelaksanaan menjadi regulator dan promoter dari kebijakan,
serta penetapan sasaran baik nasional maupun sektoral;
2. Para menajer selanjutnya akan
bertanggung jawab kepada pemilik baru. Diharapkan pemilik baru akan mengejar
pencapaian sasaran perusahaan dalam kerangka regulasi perdagangan, persaingan,
keselamatan kerja, dan pertauran lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah,
termasuk kewajiban dalam pemberian pelayanan masyarakat.
3. Pemilihan metode dan waktu privatisasi
yang terbaik bagi badan usaha dan Negara mengacu kepada kondisi pasar dan
kebijakan regulasi sektoral.
Di sisi lain,
secara umum, tujuan dari adanya privatisasi dapat dikatakan adanya kesadaran
atas beratnya beban pemerintah, berupa tugas dan tanggung jawab dalam mengelola
BUMN sehingga akan menjadi lebih efektif dan efisien jika dilakukan peralihan
kepada pihak swasta. Kesadaran ini diperlukan, terutama bila dikaitkan pada
kebutuhan akan modal karena adanya anggaran dan beban biaya yang besar serta
peningkatan serta peningkatan profesionalitas BUMN tersebut. Dengan adanya
peran serta pihak swasta termaksud, otomatis mengurangi campur tangan
birokrasi/pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan serta penyelenggaraan
pelayanan barang atau jasa pada masyarakat. Lebih jauh dengan terwujudnya
efisiensi, efektivitas produktivitas, profesionalitas, serta kualitas produk dan
pelayanan yang baik akan dapat mewujudkan keunggulan kompetituf (competitive advantage) BUMN serta
sebagai flag-carrier (pembawa
bendera) dalam maengarungi pasar global nantinya.
Selain itu
privatisasi juga memiliki beberapa tujuan penting lainnya, yakni sebagai
berikut :[4]
1) Tujuan
yang bersifat ekonomi
BUMN dimaksudkan untuk
mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak
tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti
perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33
UUD 1945, seyogyanya dikuasai oleh BUMN. Dengan adanya BUMN diharapkan dapat
terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang berada
di sekitar lokasi BUMN memperluas kekuatan pasar dan meningkatkan persaingan
serta mengurangi ukuran sektor publik dan membuka pasar baru untuk modal
swasta.
2) Tujuan
BUMN yang bersifat sosial
Tujuan BUMN yang bersifat sosial
dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan
perekonomian lokal. Penciptaan lapangan kerja dicapai melalui perekrutan tenaga
kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal dapat dicapai
dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra kerja dalam mendukung
kelancaran proses kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah
untuk memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi yang berada di sekitar
lokasi BUMN.
3) Tujuan
privatisasi dari sisi pembenahan internal manajemen (jasa dan organisasi)
yaitu:
·
Meningkatkan efisiensi dan
produktivitas;
·
Mengurangi peran negara dalam
pembuatan keputusan;
·
Mendorong penetapan harga komersial,
organisasi yang berorientasi pada keuntungan dan perilaku bisnis yang
menguntungkan;
·
Meningkatkan pilihan bagi konsumen.
4) Tujuan
dari segi politik yaitu:
·
Mengendalikan kekuatan
asosiasi/perkumpulan bidang usaha bisnis tertentu dan memperbaiki pasar tenaga
kerja agar lebih fleksibel;
·
Mendorong kepemilikan saham untuk
individu dan karyawan serta memperluas kepemilikan kekayaan;
·
Memperoleh dukungan politik dengan
memenuhi permintaan industri dan menciptakan kesempatan lebih banyak akumulasi
modal spekulasi;
·
Meningkatkan kemandirian dan individualisme.
2.2.3 Dinamika Privatisasi
di Indonesia
Privatisasi menimbulkan pro kontra di kalangan elit pemerintahan dan
masyarakat luas, karena dinilai menimbulkan dampak negative terhadap beberapa
aspek kehidupan negara, terutama pada aspek perekonomian yang didukung oleh
berbagai alasan. Alasan bahwa privatisasi bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dan kinerja perusahaan yang diprivatisasi dianggap tidak sesuai
dengan fakta. Sebab jika itu yang menjadi motifnya, maka seharusnya yang
diprivatisasi adalah perusahaan-perusahaan yang tidak efisien, produktivitasnya
rendah dan kinerjanya payah. Sehingga dengan diprivatisasi, diharapkan
perusahaan tersebut berubah menjadi lebih efisien, produktivitasnya meningkat,
dan kinerjanya menjadi lebih bagus. Padahal, pada kenyatannya yang
diprivatisasi adalah perusahaan yang sehat dan efisien. Jika ada perusahaan
negara yang merugi dan tidak efisien, biasanya disehatkan terlebih dahulu
sehingga menjadi sehat dan mencapai profit, dan setelah itu baru kemudian dijual.
Alasan untuk meningkatkan pendapatan negara juga tidak bisa
diterima. Memang ketika terjadi penjualan aset-aset BUMN itu negara mendapatkan
pemasukan. Namun sebagaimana layaknya penjualan, penerimaan pendapatan itu
diiringi dengan kehilangan pemilikan aset-aset tersebut. Ini berarti negara
akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya. Akan menjadi lebih berbahaya
jika ternyata pembelinya dari perusahaan asing. Meskipun pabriknya masih
berkedudukan di Indonesia, namun hak atas segala informasi dan bagian dari
modal menjadi milik perusahaan asing.
Privatisasi bukanlah hal yang baru karena telah
menjadi kebijakan pemerintah sejak era Suharto dan bahkan telah menjadi faktor
utama penyebab keterpurukan perekonomian nasional. Konsep kebijakan privatisasi
sebetulnya merupakan bagian dari kebijakan deregulasi secara umum dan
kelanjutan proses deregulasi itu sendiri. Pada kasus privatisasi di Indonesia,
kebijakan tersebut lahir dan berawal dari keterpurukan perekonomian Indonesia
akibat krisis moneter yang telah berkembang menjadi krisis multidimensi dan
mengakibatkan BUMN-BUMN mengalami kesulitan untuk meneruskan usahanya, sehingga
perlu adanya usaha untuk menyelamatkan BUMN-BUMN tersebut agar tetap eksis.
Pada dasarnya, misi dari kebijakan privatisasi
adalah baik dan bisa dibenarkan bila tetap berpegang pada tujuan dan sasaran
yang hakiki. Tujuan privatisasi bila disarikan akan menjadi beberapa point.
Pertama, meningkatkan efisiensi, kedua, peningkatan mutu pelayanan publik dan
ketiga, mengurangi serta melepaskan campur tangan langsung pemerintah.
Kebijakan privatisasi masa Pemerintahan Soeharto
yang dimulai pada 1980-an dinilai telah gagal dalam mewujudkan tujuan dan misi
utamanya. Beberapa hal yang dapat diperkirakan sebagai penyebab kegagalan
privatisasi pada era tersebut, antara lain: arah pembangunan lebih ditekankan
pada pertumbuhan daripada pemerataan, tujuan privatisasi lebih ditekankan
kepada usaha mencari modal tanpa mempertimbangkan cita-cita pembangunan
perekonomian sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 33, pemerintah tidak
konsisten dalam penetapan bidang usaha yang boleh diusahakan oleh pihak swasta
asing, mekanisme usaha serta perangkat hukum yang ada tidak menjamin
terciptanya kompetisi yang fair, bahkan cenderung lebih memberikan perlindungan
serta keuntungan kepada investor asing. Dari berbagai kebijakan yang telah
dikeluarkan, jelas bahwa privatisasi yang telah berlangsung selama masa itu
telah melenceng dari maksud dan tujuan yang sesungguhnya, yang pada akhirnya
telah menghancurkan perekonomian Indonesia.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
privatisasi merupakan upaya mengurangi keterlibatan langsung Pemerintah dalam
urusan ekonomi. Diharapkan, pemerintah dapat lebih fokus pada fungsi regulasi.
Dengan hadirnya swasta dalam kepemilikan saham BUMN, hal ini akan menghambat
campur tangan semena-mena dari berbagai pihak sehingga kinerja BUMN dapat
ditingkatkan. Bila kaidah-kaidah privatisasi diterapkan dengan baik dan benar,
maka keuntungan yang diperoleh adalah:
1.
Transparasi di tubuh BUMN akan terwujud.
2.
Manajemen BUMN/Perusahaan akan lebih independen dan
terlepas dari intervensi birokrasi dan politik.
3.
Akses pemasaran lebih luas.
4.
Perolehan ekuitas baru memungkinkan BUMN dapat
mengembangkan usahanya dengan lebih baik.
5.
BUMN berpeluang
untuk memperolah pengalihan teknologi, dari teknologi produksi
hingga teknologi manajemen mutakhir.
6.
Terjadinya transformasi budaya BUMN, dari budaya birokratis
yang lamban menjadi korporat yang gesit dan taat pada disiplin pasar.
Dalam
perjalanannya, privatisasi BUMN di Indonesia selalu mengundang pertentangan dan
perdebatan yang panjang. Hal tersebut tidak terlepas dari segala kecurangan dan
kurangnya transparasi dalam proses dan pelaksanaannya. Salah satu contoh yang
masih hangat adalah kasus divestasi PT Indosat yang hingga kini masih kisruh.
Proses divestasi tersebut tidak saja kurang transparan, tetapi juga berbau
kecurangan di sana sini, baik berkaitan dengan teknis proses tender maupun
dalam penentuan harga jual yang tidak realistis.
Privatisasi
BUMN di Indonesia mulai direncanakan pemerintah sejak tahun 1990-an. BUMN-BUMN
yang telah diprivatisasi seperti PT Telkom (persero)Tbk., PT. Perusahaan Gas
Negara (persero) Tbk., PT bank Mandiri (persero) Tbk,. PT Bank BNI 46 (persero)
TBK., PT Indosat (persero) Tbk., ternyata mampu memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap likuiditas dan pergerakan pasar modal.
Selain itu,
metode privatisasi yang dilakukan pemerintah pun kebanyakan masih berbentuk
penjualan saham kepada pihak swasta. Hal ini menyebabkan uang yang diperoleh
dari hasil penjualan saham-saham BUMN tersebut masuk ketangan pemerintah, bukan
masuk ke dalam BUMN untuk digunakan sebagai tambahan pendanaan dalam rangka
mengembangkan usahanya. Bagi pemerintah hal ini berdampak
cukup menguntungkan, karena pemerintah memperoleh pendapatan penjualan
sahamnya, namun sebenarnya bagi BUMN hal ini agak kurang menguntungkan, karena
dengan kepemilikan baru, tentunya mereka dituntut untuk melakukan
berbagai perubahan. Namun, perubahan tersebut kurang diimbangi tambahan dana
segar yang cukup, sebagian besar hanya berasal dari kegiatan-kegiatan
operasionalnya terdahulu yang sebenarnya didapatnya denga kurang efesien.
2.3 Dimensi Kriteria
Pemilihan Kebijakan Privatisasi
1.
Kriteria
Umum Privatisasi Sesuai UU 19/2003 dan PP 33/2005 :[5]
Persero yang dapat diprivatisasi harus
sekurang-kurangnya memenuhi kriteria:
a.
Industri/sektor
usahanya kompetitif
b.
Industri/sektor
usaha yang unsur teknologinya cepat berubah.
c.
Sebagian
aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum
dan/atau yang berdasarkan undang-undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh
BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan
untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi.Persero yang tidak
dapat diprivatisasi adalah:
·
Persero
yang bidang usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan hanya boleh
dikelola oleh BUMN;
·
Persero
yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan
negara;
·
Persero yang
bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk
melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
·
Persero
yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan
peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.
2.
Kriteria
Tambahan
Penjualan Saham Langsung kepada Investor/Strategic Sale
(SS) adalah sebagai berikut:
o
Memerlukan
bantuan dan keahlian, “know-how”, expertise dari mitra strategis, seperti
operasi/teknis, inovasi/pengembangan produk, manajemen, pemasaran teknologi,
dan kemampuan pendanaan;
o
Membutuhkan
dana yang besar namun menghadapi keterbatasan dana dari Pemerintah (sebagai
shareholder) dan/atau pasar modal;
o
Mengalami
kesulitan/tidak memiliki keahlian dalam mengelola operasional bisnisnya (inti
maupun non inti), dimana sebagian aset/kegiatan operasionalnya dapat dipisahkan
dan dikerjasamakan oleh pihak mitra strategis;
o
Mengurangi
kepemilikan Negara menjadi minoritas sepanjang tidak bertentangan dengan regulasi;
o
Merupakan
sektor yang bukan strategis bagi Pemerintah;
Peran swasta dalam sektor publik
semakin terasa dan dibutuhkan, mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh
pemerintah baik dari segi biaya, sumber daya manusia maupun teknologi dalam
memberikan layanan kepada masyarakat. Dengan mengalihkan fungsi, aktivitas dan
tanggung jawab dari pemerintah kepada pihak swasta peran pemerintah secara
berangsur akan semakin berkurang, kecuali untuk menentukan standar-standar yang
mengedepankan efisiensi, efektivitas, tanggung jawab, kesetaraan yang
memerlukan kejelasan dan ketegasan tetap menjadi kendali pemerintah.
Disisi lain privatisasi bukan
semata-mata hanya pengalihan dari sektor publik ke swasta tetapi harus dilihat
dalam konteks yang lebih luas tentang apa yang pemerintah lakukan dan bagaimana
hal itu dilakukan (ILO, 2001:28). Kecenderungan yang ada sekarang, masalah
privatisasi terkait dengan dimensi-dimensi teknologi, ekonomi, politik,
lingkungan, sosial dan budaya. Dimensi-dimensi tersebut memberikan pengaruh
yang cukup besar terhadap perubahan struktur dan hubungan antara pemerintah dan
pasar, termasuk perubahan struktur dan organisasi pelayanan public.[6]
Dimensi
|
Pengaruh Privatisasi
|
Teknologi
|
·
Teknologi
yang digunakan oleh pihak swasta lebih canggih dan mutakhir, mengedepankan
efesiensi dan keefektivan waktu, sehingga barang/jasa yang dihasilkan lebih
banyak.
·
BUMN
akan memperoleh transfer of technology, terutama teknologi proses
produksi
|
Ekonomi
|
·
Harga
yang ditentukan oleh pihak swasta cenderung lebih mahal karena lebih
mementingkan keuntungan bagi pemilik modal (pihak swasta).
·
Berkurangnya
aset-aset berharga milik negara, seperti PT. Indosat, PT. Telkom. Penjualan
PT Indosat dan Telkom paling disoroti masyarakat. Dengan prospek positif
industri telekomunikasi di Indonesia, karena dua perusahaan raksasa itu
sempat mendatangkan keuntungan yang berlimpah.
·
Privatisasi
dapat mengurangi kebutuhan pemerintah untuk melanjutkan subsidi bagi BUMN,
yang diharapkan akan menyehatkan fiskal secara signifikan.
·
Privatisasi
berorientasi kepada pembangunan yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi yang
pesat menuntut partisipasi pihak swasta dan asing untuk secara aktif terlibat
dalam proses pembangunan nasional.
|
Politik
|
·
Manajemen
BUMN menjadi lebih independen, termasuk bebas dari intervensi birokrasi
·
Mendorong
kepemilikan saham untuk individu dan karyawan serta memperluas kepemilikan
kekayaan;
·
Memperoleh
dukungan politik dengan memenuhi permintaan industri dan menciptakan
kesempatan lebih banyak akumulasi modal spekulasi;
|
Lingkungan
|
·
Keberadaan
kapitalisme menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Seperti pada jasa
pelayanan air yang merupakan pelayanan publik dan disediakan oleh pemerintah,
mulai diambil alih oleh swasta. Melalui proses privatisasi, air diubah
menjadi sebuah komoditas, diberi harga, dan dijual di pasar atas dasar
kemampuan untuk membayar.
|
Sosial dan Budaya
|
·
Pengaruh
sosial privatisasi terhadap pekerja adalah fokus perhatian badan
internasional di bidang perburuhan, International Labour Organization, yang
berupaya merancang berbagai program untuk mengatasi dampak
privatisasi),khususnya pada proses peralihannya, antara lain dalam
mengembangkan sektor usaha kecil dan menengah sejalan dengan program
privatisasi
·
Kultur
sektor swasta akan mulai mempengaruhi keuntungan yang akan meningkat sehingga
harga saham akan meningkat (jika pemerintah masih memegang sebagian saham,
maka pemerintah juga akan menikmati keuntungan dari kenaikan nilai saham).
·
Terjadi
transformasi corporate culture dari budaya birokratis yang lamban,
menjadi budaya korporasi yang lincah.
|
BAB III
KESIMPULAN
Untuk menghindari munculnya pro dan kontra dalam privatisasi BUMN,
hendaknya pemerintah lebih transparan dan menghindari kecurangan yang bisa saja
dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Konsep privatisasi seharusnya diarahkan
terutama untuk kepentingan perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya, tidak
semata-mata untuk menutup APBN. Untuk pengembangan usaha, perusahaan memerlukan
tambahan modal dan salah satunya berasal dari penerbitan saham yang dijual ke
publik. Dengan tambahan modal tersebut perusahaan mempunyai kapasitas untuk
meminjam sehingga dimungkinkan untuk memperoleh dana pinjaman dari kreditur.
Kombinasi dari modal intern dan ekstern ini memungkinkan perusahaan mengembangkan
usahanya ke peningkatan volume, penciptaan produk dan atau jenis usaha yang
dinilai Profitable sehingga volume pendapatannya meningkat yang pada gilirannya
dapat meningkatkan laba perusahaan.
Pengembangan usaha dapat meluaskan dan menghadirkan lapangan kerja.
Dengan usaha baru terdapat posisi tenaga kerja yang harus diisi. Pengisian
tenaga pada posisi baru tersebut dapat berasal dari intern atau ekstern
perusahaan. Dengan cara seperti ini akan terjadi penciptaan lapangan kerja
baru. Pola privatisasi seperti itu juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Tambahan modal yang masuk ke perusahaan dapat dipakai untuk menciptakan value
added, yang berasal dari peningkatan kegiatan usaha, yang pada akhirnya akan
menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Pada dasarnya, misi dari kebijakan privatisasi
adalah baik dan bisa dibenarkan bila tetap berpegang pada tujuan dan sasaran
yang hakiki. Privatisasi diharapkan akan dapat merubah
citra BUMN menjadi sebuah commercial entity yang dicintai dan didukung oleh pemiliknya
(rakyat Indonesia) dengan membebaskan dirinya dari intervensi birokrat,
menghilangkan KKN dalam internal managementnya, dan memegang teguh prinsip Good
Corporate Governance din seluruh jajaran, dari pimpinan tertinggi sampai
terbawah.
[3]http://www.hukumperseroanterbatas.com/2013/11/06/privatisasi-perusahaan-perseroan/#sthash.FhdFBQxO.dpuf Minggu 07/12/2014
[4] http://wanameru.blogspot.com/2011/06/kondisi-bumn-dan-masalah-masalah-bumn.html
administrasi, administrasi bisnis, administrasi perusahan, administrasi perusahan negara, administrasi publik, BUMN, MAKALAH, manajemen
0 komentar:
Post a Comment